Ehalaw, pemirsah! Udah deket jam makan siang, nih. Kalian mau makan apa? Traktir saya, dong.
....
Oke, I admit that I ain't good on writing opening paragraphs.
Kali ini saya mau nulis review. Bukan, bukan review film. Di tahun 2015 yang sudah jalan 5 bulan ini saya mau nulis tentang salah satu barang kesayangan saya:
Yak, benar, Pebble Smartwatch. Sebenarnya saya udah lama pakai jam tangan pintar (duileh, harafiah banget transtationnya, cin) ini. Tapi karena kesibukan saya shooting sinetron stripping dan jam tangan ini sempet rusak, jadinya saya belom sempet nulis review tentang si hitam kece yang satu ini.
Yak. Benar. Lazarus Effect. Dari posternya saya sempat ragu, kok itu perempuan matanya item semua gitu. Namun karena saya orangnya berpegang teguh pada intuisi, jadi saya berasumsi bahwa mungkin film ini bercerita tentang pengidap katarak. Tapi setelah saya baca sinopsisnya, film ini bercerita tentang sekelompok ilmuwan yang menghidupkan kembali orang meninggal. Kembali pada fakta bahwa saya orangnya berpegang teguh pada intuisi namun ternyata tebakan saya salah, maka saya kembali berasumsi bahwa film ini bercerita tentang pengidap katarak yang sudah meninggal namun dihidupkan kembali. Yes, I'm THAT stubborn.
Beberapa hari yang lalu, saya ke Citywalk Sudirman. Saya dan beberapa teman janjian lunch di situ. FYI, Citywalk ini adalah mall yang tidak terlalu besar namun nyaman bagi saya. Kenapa? KARENA ISINYA MAKANAN SEMUWAHAHAHAHA.
*sumpel mulut pake timbangan*
Saya datang sekitar pukul 11.30, belum terlalu ramai karena memang belum jam makan siang tapi karena saya lapar makanya saya dateng duluan. Kalimat pertama yang keluar dari mulut saya ketika memasuki Citywalk adalah,"God, I miss this place so much", mengingat dulu hampir setiap hari saya ke situ. Yaiyalah, tinggal jalan kaki dan jaraknya juga masih reasonable kalo saya ke sana dari kantor pake heels 10 cm (maksudnya biar keliatan kece padahal lumayan juga siang bolong jalan pake heels di bawah sinar matahari).
Banyak kejadian yang saya alami di situ. Entah itu makan siang reguler, kabur sebentar dari kerjaan yang hectic pada jam ngopi untuk take away Hazelnut Latte-nya Starbucks, ataupun ngopi-ngopi santai selepas jam kerja. Dari senyuman lebar hingga aliran airmata yang cukup deras juga pernah saya alami di sini. Pelukan hangat pertama yang saya dapatkan dari salah seorang kawan baik ketika drama LDR Jakarta-Meksiko itu berakhir juga saya dapat di sini. God, there are so many things I've done and passed those days.. It's like my second home.
Yes, The Affair. Berawal dari timeline Path saya (emang si Anita banci Path ceunah) seliweran aja postingan tentang serial ini dari beberapa teman yang nonton dan bilang kalo serial ini bagus. Maka sebagai orang yang mudah terpengaruh dan penganut paham IMDB-isme kelas berat, saya pun browsing berapa sih skor IMDB serial ini and this is what I found:
8 aja, pemirsa! Saya bukan pecinta serial tapi mengingat rate Devious Maids yang 'hanya' 7,9 apalagi Mistresses yang cuman 7,0, I feel like this serial will be worth my time............and bandwidth.
*nyapuin sisa kembang dan menyan yang bertebaran bekas ritual nyembah modem biar downloadnya lancar*
Pun posternya juga misterius (kurang misterius apa cobak si Dominic West mukanya cuman setengah gitu ketutupan bibirnya Ruth Wilson). Maka didukung oleh rasa penasaran yang cukup tinggi dan INI KENAPA DEVIOUS MAIDS SAMA MISTRESSES LAMA BANGET KELUAR SEASON 3-NYA YA TUHAAAAN SAYA KEHILANGAN ARAH HIDUP, maka saya mulailah menonton serial ini. So here goes the review..
Prologue
Orang-orang terdekat saya pasti mengetahui how much I love writing. Bagi saya, menulis bukanlah sekedar hobi ataupun pekerjaan. It's a part of me. Saya memulai kecintaan saya terhadap menulis sedari kecil. Saya ingat ketika saya berusia 4 tahun, Mama mengajari saya cara menulis, dimulai dari huruf vokal. A, I, U, E kemudian O yang lalu dilanjut oleh huruf konsonan. God, I clearly remembered that I HATE IT SO MUCH. Saya sempat marah dan membanting pensil saya, namun berkat kesabaran beliau, saya akhirnya lulus pelajaran tulis menulis. Memasuki SD, pelajaran Bahasa Indonesia adalah salah satu pelajaran favorit saya, dan Matematika pastinya menjadi mata pelajaran yang bawaannya pingin saya musnahkan. Saya merasa selalu bersemangat tiap kali saya belajar Bahasa Indonesia, kenapa? Karena ada sub-bab 'mengarang', di mana saya bisa membawa imajinasi saya berjalan-jalan dan merangkainya ke dalam kumpulan paragraf pada satu cerita. Apalagi kalau habis liburan sekolah, ketika saya masih SD guru saya pasti meminta murid-muridnya untuk menulis pengalamannya pada liburan kemarin. Saya selalu sangat bersemangat tiap kali mengerjakan tugas itu dan meskipun saya tidak selalu mendapat nilai terbaik di kelas, saya sangat menikmati setiap aliran kata yang mengalir dari kepala saya ke atas kertas.