05 July 2012

Nanti dulu

Kamu ingat, ketika kita berdua, berbaring bersampingan, memandang langit-langit dengan kipas angin tua menggantung yang berputar penuh semangat menghilangkan kegerahan kita akan cuaca pulaumu yang meradang?
6 hari sebelum keberangkatanmu, hari terakhir aku berada di sampingmu sebelum malamnya aku pulang, ke kotaku.
"Jadi gimana? Kita tetap pada kesepakatan sebelumnya?"
"Kamu mau?"
Aku diam, lalu balik bertanya, "Kamu?"
"Ndak"
"Kenapa?"
"Ya ndak mau aja. Jangan, ya.. Tunggu nah sebentar. Nggak lama"
"Kenapa?"
"Udah ya, tunggu, ya?"
Lalu kamu peluk aku. Lama, tapi hangat. Aku suka, lalu kemudian memilih untuk tenggelam di dalamnya.

"Be.."
"Ken?*"
"Nanti kan jadi makin jauh.."
"Iya, tapi kan cuma sebentar.."
"Jangan nakal ya?"
"Nah"
Aku menenggelamkan kepalaku di bawah ketiakmu, diam-diam berbisik,
"Aku sayang kamu"
Memang dasar pendengaranmu setara dengan ibu-ibu tetangga yang suka gosip, kamu mendekapku erat. Tanpa kata. Dalam diam, aku terisak.

Kamu tahu, kadang hal ini membuat kepalaku sakit luar biasa. Jarak dan perbedaan agama yang menjadi permasalahan utama kita mengeroyok keyakinanku, akan kamu, akan diriku sendiri, dan kita. Aku terkadang iri dengan kebersamaan mereka yang bisa dengan lancarnya merencanakan masa depan dengan para kesayangan, sementara aku hanya bisa diam mengamati mereka.

Aku, sama seperti mereka, memiliki keingingan yang besar untuk bisa kemudian menyeduhkan teh hangat untukmu setiap pagi, sejak kamu bukanlah penyuka kopi. Aku memiliki keinginan yang besar untuk bisa ada setiap malam menemanimu berbincang tentang segala hal sebelum kita akhirnya pergi tidur. Aku memiliki keinginan yang besar untuk memberimu sentuhan-sentuhan kecil di bagian kepala setiap kali kamu mengeluh kamu mengkhawatirkan banyak hal. Tapi kembali, aku akan membiarkan pikiranku diam daripada membiarkan kelenjar airmataku produksi massal.

Sayang,
kamu percaya, apapun yang kita jalani saat ini, akan berbuah manis? Walaupun hasilnya tidak seperti yang kita inginkan, tapi apa kamu yakin itulah yang kita butuhkan? Setidaknya, untuk pembelajaran?
Kamu sadar, sebesar apa resiko yang kita ambil perlahan-lahan saat ini?
Kamu sadar, sebanyak apa kesabaran yang harus kita terus menerus sediakan dan jaga agar tidak habis?

Kenapa kamu mengambil keputusan ini? Kenapa aku setuju?
Aku rasa,
karena kita peduli,
karena kita saling menyayangi.

Untuk Kadek Yudiarta,
jangan menyerah dulu.
*Ken: Bahasa Bali, biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, artinya "Kenapa?"