Malam terasa sunyi, di kamar kost busuk ini ada aku dan kamu, saling menatap dingin satu sama lain.
"Siapa laki-laki itu?" Aku sudah tidak bisa memendam lagi. Ingatan tentangmu yang sedang dipeluk mesra oleh laki-laki itu sungguhlah menyakitkan.
"Bukan siapa-siapa" Kamu memang pintar akting dengan cara menjawabmu yang tetap tenang itu.
"Lalu mengapa dia merangkulmu mesra seperti itu? Kalian saling menatap dan tertawa. Itu yang kamu sebut 'Bukan siapa-siapa'? Aku juga sering merangkulmu. Apa aku juga bukan siapa-siapamu?
"Beda dong, Sayang.. Kamu kan tunanganku, dia teman kerjaku. Kamu paham, dong. Nggak usah kolot, ah." kamu sekarang tersenyum manis. Senyum beracun.
"Erlangga, sayangku, dengar aku. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia. Dia hanya sedikit mabuk dan aku membantunya berjalan. Dia orangnya juga suka bercanda makanya aku tertawa-tawa karena dia kalau lagi mabuk suka aneh sekali.. Jangan marah ya, sayang, ya.." kamu mulai mengusap pipiku dan memelukku. Wangi parfummu yang khas menyeruak indera penciumanku dan meluluhkan hatiku. Kamu jalang, tapi aku mencintaimu, Mariska..
"Kau peluk aku sebelum membunuhku
Tersenyum melihatku merenung melihatmu.."
---
"Kamu sudah makan?" Kamu menghampiriku di taman biasa tempat aku menikmati sore.
"Sudah. Kamu dari mana saja?"
"Hmmm. Kantor sebentar tadi."
"Hari Minggu seperti ini?"
"Iya, kan sebentar lagi kantorku ulang tahun, sayang.. I have to work harder to make this happen. For the sake of my career, baby.." Kamu mendaratkan ciuman manis di pipiku. Harum parfummu kembali menyeruak ke dalam indera penciumanku. Tunggu, ini bukan wangimu.
"Kamu ganti parfum?" aku memalingkan perhatianku dari awan berbentuk pohon yang sedari tadi aku perhatikan. Entah kenapa matamu sempat sedikit terbelalak sebelum menjawab pertanyaanku.
"Masa? Nggak, tuh. Kenapa, sayang?" kamu sekarang menyandarkan kepalamu di bahuku, mengalihkan wangimu yang berbeda tadi dengan harum rambutmu.
"Wangimu berbeda" aku kembali memusatkan perhatianku pada langit sore. Warnanya bagus. Suasananya tenang, namun entah kenapa, hatiku tidak.
"Aku mengerti kamu mencintaiku, tapi kan aku sudah menjadi tunanganmu.. Kita akan menyelenggarakan pernikahan yang sudah kita rancang dalam waktu dekat ini.. Kenapa kamu masih curiga?"
"Aku bukannya curiga, tapi..."
"Sssh, sayang. Sudah. There's nothing wrong, okay? I love you, that's all" kamu lagi-lagi tersenyum manis dengan senyum beracunmu yang tanpa kusadari, membunuhku perlahan-lahan dengan kenaifan.
"Kau menungguku menunggu ku terjatuh
Setiap langkah tertuju setia dalam menunggu"
---
Aku menutup pintu kamar kost-ku yang sudah penuh sesak dengan barang-barang pemberianmu. Bantal, ransel, celengan, gitar, dan barang-barang lainnya yang jika dijajarkan bersama, dapat dikategorikan dari 'Barang penting' ke 'Barang tidak penting'. Semuanya kamu. Aku duduk di pojok berdebu kamarku, satu-satunya gelintiran sentimeter persegi yang tidak tersentuh oleh barang-barang pemberianmu.
Di sana, aku duduk, memejamkan mata.
Bayanganmu dan laki-laki itu kembali muncul. Segala keanehan dan keganjilan yang terjadi kepadamu akhir-akhir ini juga muncul ke permukaan. Sering menghilangnya kamu, gerak gerikmu, hingga yang terjadi tadi sore: Harummu yang berbeda.
Aku membuka mataku, tiba-tiba merasa ingin muntah.
Aku muak. Terlalu muak olehmu yang sudah muak mencintaiku. Terlalu muak oleh semua kepura-puraanmu.
Kuambil telepon genggamku dalam hitungan detik, kemudian..
"Halo sayaaang" suaramu yang ceria menyapa panggilanku. Tetap menyenangkan, namun tidak lagi menenangkan.
"Kamu di mana?"
"Masih di kantor niiih"
"Selarut ini?"
"Iya, kan kemarin sudah aku ceritakan, sayang.. Ada apa kamu tumben nelepon? Nanti telepon lagi mau, ya? Aku lagi meeting"
"Nggak, tidak perlu, aku hanya ingin menyampaikan satu hal"
"Apa itu sayang? Please say it fast, don't have pretty much time"
"Aku mencintaimu. Maafkan aku sudah melemparkanmu dengan segala prasangka buruk"
"Aaah, sayaaang. I love you too. Besok malam kita ketemu, ya. Aku balik meeting dulu. Dadaaah"
Tanpa aba-aba, kamu menutup teleponnya. Aku tersenyum. Senyum bengis, lebih tepatnya. Kalau saja kamu tahu mengapa aku lebih memilih untuk meminta maaf dan mengatakan bahwa aku mencintaimu, sama jawabannya seperti, 'kalau kamu bisa berpura-pura selama ini terhadapku, mengapa aku tidak?'.
"Aku menunggumu menunggumu menunggumu mati
Di depanku di depanku di depanku.."
---
Pukul 3 pagi.
Telepon genggamku berdering. Aku terkaget dan bangun. Sebuah telepon masuk. Nomor teleponmu.
"Halo?" Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku untuk menjawab telepon itu.
"Halo selamat malam. Betul dengan saudara Erlangga?" Sebuah suara yang tak kukenal namun terdengar berat dan berwibawa berbicara denganku.
"Iya betul, siapa ini?" aku terkaget. Apakah kamu diam-diam sudah menjadi laki-laki?
"Saya dari kepolisian, menemukan telepon genggam ini di dalam tas korban" sayup sayup terdengar suara sirine. Aku membelalak. Ada apa ini?
"Sebentar. 'Korban'? Maksud Anda apa?"
"Pemilik telepon genggam ini mengalami kecelakaan, seorang perempuan, dan ketika kami cek telepon genggamnya, nomor Anda yang terakhir ada dalam daftar panggilannya"
"Mariska? Kecelakaan? Apa yang terjadi, Pak? Tolong jelaskan. Sekarang di mana Mariska berada?!" aku mulai panik.
"Korban sudah dilarikan ke rumah sakit, lalu........."
Percakapan berlanjut. Aku mendapatkan alamat rumah sakit tempat kamu mendapat tindakan gawat darurat. Dengan motor teman yang kupinjam, aku menuju rumah sakit.. Tunggu aku, sayang.
Aku menemui pihak kepolisian yang tadi menelponku. Kamu mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak trotoar kemudian tiang penyangga jalan layang. Ternyata kamu tidak sendiri, namun bersama seorang laki-laki yang aku curigai selama ini. Si laki-laki meninggal di tempat, sementara kamu masih sempat diselamatkan dan dilarikan ke rumah sakit. Keadaanmu sangat kritis, kata mereka. Pendarahan di mana-mana. Setelah menghubungi keluarganmu, aku memilih untuk memisahkan diri sejenak dan duduk di kafetaria dengan segelas kopi hangat, sampai akhirnya ibumu meneleponku dan memberitahu bahwa kamu sudah sadar dan ingin berbicara denganku.
"Erlangga.." kamu mencoba tersenyum, walau robek di mulutmu tidak dapat kuhindari untuk tidak kulihat.
"Jangan berbicara dulu, kamu masih terluka" aku mencoba tenang, walaupun kepalaku berdenyut kencang. Aku tidak tahu aku harus marah atau sedih atau tetap berpura-pura kepadamu.
"Maaf...kan...ak....." kemudian kamu terbatuk hebat, mulutnya mengeluarkan darah. Setengah berteriak, aku memanggil dokter. Seluruh keluargamu langsung berkumpul dan terlihat panik, sementara aku memilih untuk diam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kasihan kamu. Namun, mengingat apa yang sudah kamu lakukan kepadaku.... Ah, apa yang harus aku lakukan?
Dokter meminta kami semua keluar ruangan. Ibumu terisak sedih. Aku memilih untuk duduk dan membenamkan kepalaku ke dalam telapak tanganku. Kepalaku terasa semakin sakit. Tidak lama kemudian, dokter keluar. Kami semua bangkit dari tempat duduk, menunggu kabar, apapun itu..
"Mohon maaf, semuanya. Mariska telah pulang ke pelukan Yang Maha Kuasa.."
Seketika tangis ibunya meledak. Aku masih diam. Tuhan, ada apa ini?
Dokter menghampiriku dan memberi isyarat untuk agak menjauh dari kerumunan anggota keluarganya.
"Saya minta maaf atas apa yang telah terjadi. Saya sudah berusaha sekuat apa yang saya bisa, namun Mariska dan calon anak kalian tidak dapat terselamatkan.."
Dunia mendadak terasa hening. "Calon anak kalian?" aku mengulang perkataan sang dokter.
"Betul, Pak. Anda suami dari Mariska, benar? Sebenarnya dia tengah mengandung, namun akibat kecelakaan itu, dia dan sang jabang bayi tak dapat terselamatkan.."
Perempuan jalang.
Aku tidak pernah menyentuhmu sedikitpun dan kamu ternyata telah hamil?
Aku mengangguk kepada dokter itu, lalu memilih untuk menyelesaikan permainan yang akhir-akhir ini menjadi permainan favoritku: Pura-pura mencintaimu.
Aku membantu pengurusan acara pemakamanmu. Aku tidak tidur selama dua hari. Mataku berat, kepalaku sakit, tapi semua ini tidak seberapa dibandingkan semua kebohongan yang kita rancang dengan cara masing-masing..
"
Apa yang kau lakukan dibelakangku
Mengapa tak kau tunjukkan di hadapanku?"
---
Aku duduk diam di depan pusaramu. Menebar bunga dalam genggam terakhir kemudian menyiramnya dengan sebotol air mawar. Aku menunduk, memejamkan mata, lalu memanjatkan doa untukmu, Mariska. Kutatap tanah yang masih merah dan hangat itu, kemudian tanpa sadar aku berbisik,
"Kamu jalang, tapi bagaimanapun, aku mencintaimu. Selamat jalan, Mariska.."
Aku bangkit, pamit kepada Ibumu, kemudian pergi meninggalkan semua tentangmu, di belakangku.