11 July 2010

Fiktif #3: "Hape Obama"

Saya duduk. Kamu duduk, di sebelah saya pastinya.
Tidak, bukan di sebuah bukit penuh bintang bercengkrama, bukan juga di padang rumput luas dengan bulan tunggal memancarkan sinarnya.
Di pasar tradisional, sebelah penjual sayuran, seberang pemarut kelapa.
Kita mengamati. Banyak hal. Orang lalu lalang, pembeli dan penjual yang saling berinteraksi, kamu bilang kamu suka bunyi mesin pemarut kelapa di seberang kita, saya bilang saya suka bunyi pisau tajam menghantam leher ayam yang tak jauh dari tempat kita duduk sekarang. Lalu, kamu bilang saya sadis. Perempuan sadis.
Saya tak peduli. Saya seruput kopi hitam saya. Kamu, yang bukan penyuka kopi, memesan teh manis hangat.

Kita mendiskusikan banyak hal. Harga cabe yang menurut kita tidak sepadan dengan jumlahnya, kucing belang dua warna di depan kita dengan dominan warna putih dan sedikit coklat. Kita berdebat tentang hal itu. Kamu bilang kucing itu warna putih dengan motif coklat, saya bilang sebaliknya. Sampai ada seorang bapak tua tukang angkut sampah lewat di depan kita. Orang sekitar kita menutup hidung mereka, tapi tidak dengan kita. Bapak itu tersenyum kepada kita, dan berlalu. Kamu tertegun pilu. "Bagaimana seorang tua seperti itu bisa menarik gerobak sampah sebesar dan sebau itu?", katamu. Saya tertawa. "Itu memang garis hidupnya, hey laki-laki melankolis" saya menanggapi. Kamu mendengus dan bilang bahwa saya tak berperasaan. Saya kembali tak peduli. Saya bilang,"Bapak itu, memang disitu rejekinya. Pasti ada sesuatu dengan hidupnya sehingga dia, menurutmu, 'hanya' menjadi tukang angkut sampah. Tapi toh, dia tersenyum. Walaupun terlihat miserable, tapi menurutku, justru orang seperti itu yang dapat lebih mensyukuri hidup". Saya kembali menyeruput kopi hitam saya. Kamu memperhatikan saya. Tidak melakukan apa-apa selama 5 detik, lalu mengacak-acak poni saya. Selalu seperti itu jika kamu sudah tidak bisa melakukan apa-apa untuk perdebatan kita.

Saya nyengir. Kamu terbahak. Ada ampas kopi menempel di gigi saya, katamu. Saya tak peduli, lagi. Saya bilang, sekalipun ada gajah yang menyempil di sela-sela gigi saya, saya yakin kamu akan tetap bersama saya di sini, dengan gajah diantara kita berdua, pastinya.
Sekarang gantian kamu yang nyengir. Saya tidak melihat apapun yang nyangkut di sela-sela gigi kamu untuk ditertawakan, sialnya.
Pasar ini makin ramai. Bunyi mesin pemarut kelapa makin intens dan bising sehingga saya tidak bisa lagi mendengar bunyi hantaman pisau tajam yang menghantam leher ayam yang menjadi sound effect favorit saya. Saya protes, kamu diam. Saya cemberut, kamu hanya melirik.

Di depan kita terdapat penjual mainan anak-anak. Ada anak kecil, sekitar umur 3 tahun, merengek ke ibunya untuk dibelikan mainan handphone bohongan. "Hape Obama", tertulis di bungkusnya. Bentuknya mirip BlackBerry, kalu keypad 3 dan 9 dipencet, akan keluar bunyi kucing mengeong. Lain lagi jika 1 dan 7, jika keypad itu dipencet, akan keluar suara auman singa, dan beberapa jingle anak-anak yang bahkan saya tak mengerti bunyinya seperti apa. Absurd.
Sang ibu menolak untuk membelikan sang anak mainan. Uangnya gak ada, kata ibu itu. Sang anak merengek, sang ibu masih bertahan dengan keputusannya. Sang anak mulai menangis, sang ibu mulai menambahkan alasan,"Nanti kalau beli "Hape Obama" ini, kamu gak bisa jajan," sang anak tak perduli, ia mulai berteriak. Orang-orang sekitar menengok, mereka berdua menjadi pusat perhatian. Sang ibu menarik anaknya untuk pulang, sang anak meronta. Saya menyeruput kopi, tanpa menyadari bahwa saya sekarang duduk sendiri. Kamu, tiba-tiba sudah ada di depan anak dan ibu itu, mencoba menenangkan sang anak. Ya, sudah saya duga, kelembutan hatimu tidak bisa melihat anak itu 'menderita' lebih lama lagi. Kamu, membelikan "Hape Obama" untuk anak itu. Memberikannya dengan senyum teduh yang menjadi ciri khasmu. Anak kecil itu berhenti menangis. Ia tersenyum, lalu memelukmu. Kamu terlihat sangat bahagia, sampai.....
Kantong plastik berisi kangkung, cabai, petai, dan jahe menghantam wajahmu. Sang ibu pelakunya, ternyata.
Kamu tak mengerti, bahwa ia merasa terhina, juga merasa urusannya dicampuri. Sang ibu bilang, saya tidak suka sama orang sok pahlawan. Direbutnya "Hape Obama" dari tangan anaknya lalu dikembalikan ke kamu. Ia gendong anaknya yang mulai menangis lagi dan berjalan pulang, meninggalkan kamu yang tertegun.

Kamu terlihat bingung dan bodoh, dengan adanya "Hape Obama" di tangan kamu itu. Saya disini, di sebelah ibu penjual sayur, setengah mati menahan senyum. Kamu kembali untuk duduk di depan saya, masih dengan ekspresi tak mengerti. Kamu bilang, ibu itu tega. Saya bilang, ibu itu bertindak dengan seharusnya.
Kamu, lagi-lagi, bilang saya tidak berperasaan. Kamu bilang, saya akan menjadi ibu yang sangat buruk karena membiarkan anak saya menangis merengek meronta tanpa memenuhi apa yang menjadi keinginannya.
Dengan memandang sepasang matamu yang bersorot teduh itu, saya bilang, bahwa ibu itu bukannya tidak mampu, atau tidak mau menuruti. Ia juga bukan ibu yang buruk. Ia hanya tidak ingin melatih anaknya menjadi anak yang manja. Toh sampai dirumah nanti sang ibu akan memasak makanan favorit anaknya dan membuatnya tersenyum lagi, dengan hal lain. Sang ibu, yang tadi aku lihat di kantong plastik belanjanya terdapat jeruk dan mangga, akan membuat es bon-bon, yang aku yakini menjadi favorit anaknya juga. Kamu harus tau, bahwa tidak semua pilihan utama dapat menjadi jalan keluar. Kadang pilihan alternatif bisa menunjukkan kita hasil yang lebih baik. Dan ibu itu, membuktikannya.
Kamu memandangi saya. Terdiam, lalu kembali mengacak-acak poni saya. Saya tersenyum bangga, telah mengalahkanmu setuju kepada saya dalam dua argumen.

Pasar ini menjadi semakin ramai. Bisingnya mesin pemarut kelapa sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kita sudah tidak bisa menikmati apa-apa disini, katamu. Saya setuju. Kita berdebat lagi, tentang siapa yang boleh membayar kopi dan teh ini. Kamu merasa, bahwa kamu laki-laki, memiliki 'tanggung jawab' untuk membayar. Saya merasa, saya tidak ingin 'menyerahkan' diri saya sendiri kepada kamu seharga kopi dan teh ini, juga memiliki argumen yang sama. Ibu penjual kopi dan teh senyum-senyum melihat kelakuan kita, kamu tidak malu? Sampai pada akhirnya, kamu meletakkan dua lembar seratus ribu rupiah di atas meja ibu penjual kopi itu, dan bilang,"Kamu sekarang gak merasa murah-murah amat, kan?". Gantian saya yang diam, ibu itu yang nyengir lebar. Kamu merapihkan poni saya yang daritadi sudah tidak karuan bentuknya, lalu merangkul saya, di bahu. Kita berjalan beriringan, meninggalkan pasar itu.

Berjalan ke parkiran, lalu masuk ke dalam mobil, kamu memainkan "Hape Obama" dan lalu kembali melontarkan pertanyaan,"Apa mungkin, suatu saat nanti, kamu atau aku, atau bahkan kita berdua, bisa bertemu Obama?" gantian saya yang terbahak. Kamu terlihat bingung, apa ada yang salah, tanyamu. "No, nothing's wrong. With those dreams and smart thoughts, you will" kata saya. Kamu protes, kenapa saya tak mau ikut. Saya bilang, saya gak ngefans sama Obama. Kalaupun saya jadi kamu, saya tidak akan menghabiskan banyak waktu dengan Obama. Saya hanya akan memberikan "Hape Obama" itu kepadanya, lalu pergi. Tanpa tanda tangan, tanpa foto bareng. Saya menambahkan, jika saya ke Amerika sana, saya akan lebih tertarik berfoto dengan badut theme park atau street performers. Atau dengan penjual kopi di pinggir jalan, atau dengan anak bule yang sedang belepotan es krim, kalau bapaknya duda ganteng, sama bapaknya juga boleh.
Kamu menjitak saya. "Dasar perempuan", katamu. Meletakkan "Hape Obama" di dashboard, menyalakan mesin, memutar lagu Iwan Fals favoritmu, lalu kita pulang.

Pulang, dengan sejuta cerita dan rencana selanjutnya di kepala kita yang besarnya tak seberapa, namun mampu meresapi indahnya dunia.
P.S: postingan ini dibuat dengan iringan lagu-lagu Suede. Yes, i'm in love with Brett Anderson. That gay vocalist yang ingin saya minta untuk menikahi saya.