20 January 2010

Fiktif #1 : Bella Luna.

"Mystery the moon, a hole in the sky..
a supernatural nightlight, so full but often wry..
a pair of eyes a closing one, a chosen child of golden sun..
a marble dog that chases cars to farthest reaches of the beach
and far beyond into the swimming sea of stars.."




Saya duduk sendiri, di restoran, bukan, rumah makan bebek, sendiri.
Bukannya mau sok ansos atau gak punya temen, tapi emang temen saya gak ada yang mau nemenin saya makan bebek hari gini. Mereka lebih milih ke coffee shop atau nonton film. Blah.


Diiringi sama pengamen yang nyanyi lagu favorit saya sama kamu, Bella Luna. Tumben banget ada pengamen jalanan yang tau lagu ini. Biasanya pengamen lain gak jauh-jauh dari Peterpan, Slank, dan ST12 (no offense, saya juga suka sama lagu-lagu mereka, really).
Dan di sela-sela malam yang agak mendung dan kepedesan bebek bakar, saya yang duduk di pojokan belakang, terbawa ke beberapa bulan yang lalu, ketika kita mendiskusikan lagu ini. Kamu yang bilang nadanya lembut dan saya yang membantah dengan bilang bahwa justru nadanya bikin goyang swing, dan kamu terbahak ketika saya bahkan tidak bisa mendeskripsikan seperti apa goyang swing itu.


DANG! Kepala saya langsung sakit. Bukan karena terbentur, tapi karena saya mengalihkan sakit hati saya ke kepala. Kamu jahat. Kamu pergi. Kamu hilang. Bahkan, diluar alam sadar saya, saya berharap kalau kamu meninggal. Biar kamu nggak bisa datang lagi ke hidup saya dengan wujud yang nyata. Biar perjuangan saya setengah mati menahan air mata dan teralihkan menjadi sakit kepala ini terbayarkan. Impas.


"Oh Bella, Bella please..
Bella you beautiful Luna
Oh Bella do what you do.."


Saya mengambil batangan tembakau itu dari tas saya. Membakarnya, lalu mengkonsumsinya. Saya bahkan lupa beberapa menit yang lalu saya lagi sibuk megap-megap kepedesan sambel bebek. Saya juga lupa kalo saya sudah berjanji untuk mengurangi konsumsi tembakau ini. Tapi saya gak lupa raut wajah kamu ketika memergoki saya sedang menghisap tembakau berinisial M.L itu.


Anak kecil yang duduk di 3 meja depan saya sedang asyik menikmati segelas segar es campur, sementara ibunya sibuk sendiri menikmati bebek goreng cabe hijau, yang hebatnya, sama sekali gak megap-megap kepedesan kayak saya. Ada 2 kemungkinan di otak saya: Ibu itu pintar mengendalikan emosi sehingga nggak keliatan kalo lagi kepedesan, atau ibu itu memang ratunya cabe. Melihat anak kecil itu, saya jadi ingat kamu yang suka anak kecil, kamu yang punya angan-angan mau jadi guru TK dan saya mentertawakannya. Setelah itu, kamu ngambek 3 hari.


Another DANG comes to my head.


"May I suggest you get the best
of your wish may I insist at no contest for little you or smaller I
a larger chance set, but all them may lie
on the rise, on the brinks of our lives.."


Kepala saya makin sakit. Saya matikan batangan tembakau itu dan berjalan ke arah kasir, dan membayar sepiring bebek dan segelas es teh manis yang saya nikmati tadi. Dengan kepala cenut-cenut, saya mengantri untuk membayar dengan si pengamen melantunkan bait terakhir lagu kesukaan kita, tidak. Itu lagu kesukaan saya sekarang. Cuman saya.


"Bella Luna, my beautiful beautiful moon
how swoon me like no other.."


Saya sudah selesai membayar, dengan kembalian yang cukup banyak di tangan saya. Berjalan menjauhi kasir, saya mendengar pengamen berbicara, "Saya tau ibu-ibu atau bapak-bapak sekalian nggak tau lagu ini, tapi saya rasa lagu yang barusan saya bawakan dapat menenangkan hati yang sedang gundah."


Berjalan ke arah pengamen, saya bilang, "Saya tau lagu ini mas. Lagu favorit saya, tapi anehnya, saya malah jadi sakit kepala." sambil memasukan seluruh kembalian yang saya terima ke kantong kain yang disiapkan sang pengamen untuk menampung imbalannya, saya berjalan keluar, ke arah mobil saya. Masuk mobil, menyalakan mesin mobil dan mengemudi keluar restoran Oh, sudah turun gerimis kecil-kecil ternyata. Air turun dari langit berbarengan dengan hilangnya sakit kepala saya, dan mengalirnya airmata pertama setelah kamu pergi..