11 July 2015

A nonsense crap about friendship

Ehaaai PaPemTil a.k.a Para Pembaca Tilcik yang budiman dan budiwati, baik yang di rumah maupun di studio, baik di studio rekaman maupun studio foto, baik fotosintesis maupun fotokopi, baik kopi hitam maupun kopi.....okay I'll stop.
*berdehem penuh wibawa*
Bulan Ramadhan sudah memasuki hari ke-sekian. Gimana pemirsa puasanya? Lancar? Udah bolong berapa? Alhamdulillah belom ada yang batal.. Apa? Yang di pojok belakang udah batal 5? Ooh karena datang bulan....WAIT, TAPI KAN KAMU LAKI-LAKI? Mungkin kamu lagi halu. Baiklah.

Makin deket sama Lebaran, entah kenapa jalanan Jakarta pas jam pulang kantor makin macet ya, Saya biasanya kalo pulang kantor jam 5, jam setengah 7 udah di rumah goler-goler manis sambil makan risol sisaan takjil mamak saya sambil nonton serial. Lha sekarang jam setengah 8 ajun baru assalamualaikum menginjakkan kaki di rumah. Eh ini jam pulang kantornya jam 7 malam ya, bukan pagi. Hangsip kali ah gue pulang shift malem jam 7 pagi.

Bulan Ramadhan identik dengan satu tradisi yang dari jaman saya nonton Doraemon sampe sekarang.....tetep nonton Doraemon. #AnitaAnaknyaSulitMoveOnDariMasaKecil
Tradisi itu tak lain dan tak bukan adalah.....bukber. Alias buka bareng. Buka puasa, bukan buka toko ataupun buka mulut. Baik mulut kawah ataupun mulut goa. Baik goa..............IYA IYA SAYA MINTA MAAF UDAH ABIS INI NGGAK AKAN DIULANGI LAGI.
Sampe mana saya tadi? Oh iya bukber. Tradisi bukber ini sungguhlah happening dari dulu sampai sekarang. Kenapa eh kenapa? Karena.............mempertemukan teman dari berbagai lapisan pertemanan.
Setahun sekali.
Pas bukber itu doang.



Nggak usah pada cengar cengir itu yang lagi duduk-duduk di bawah kanopi itu hey ngaku aja kalian kalo bukber semangat dateng karena mau nostalgia masa-masa kejayaan padahal kalian nggak sadar dari tahun ke tahun cerita yang kalian ceritain sama aja yeeee.
*dijejelin botol sirup seliter*

Saya sih jujur aja, jarang ikutan bukber. Di kantor dari pagi sampe malem, langsung pulang, tidur. Bangun sahur, tidur lagi, bangun lagi subuh, mandi, berangkat ngantor, ulangi terus siklus itu dari Senin hingga Jumat. Sabtu-Minggu? YA TIDUR DI RUMAH DARI SUBUH SAMPE ASHAR BANGUN PAS DZUHUR BUAT MANDI TERUS SHOLAT ABIS ITU TIDUR LAGI.
Iya, hidup saya se-tidak-berguna itu.
*menatap kosong ke arah langit malam*
*kuntilanak lewat*
*istighfar*
But seriously, Sabtu-Minggu saya sangat memilih untuk buka puasa di rumah sama Mama-Papa. Kalopun ada undangan bukber, ya paling saya nyusul aja. Buka puasa di rumah dulu, lalu nanti nyusul lapisan-teman-yang-ketemunya-setahun-sekali itu, Palingan isi ceritanya juga itu-itu aja. Gimana kerjaan sekarang, udah punya aset apa aja, pacarnya siapa, kapan nikah, kenapa-masih-single-gue-aja-udah-punya-anak-selusin, stuff like that. I'm sorry for writing this, but that's what I feel. Yes, I'm not into that bukber-thingy. If you're really friends to each other, you should hang out anytime you want. Nggak cuman pas bukber doang. Okay once again, I'm sorry. Just my two cents, tho'.

Speaking about bukber, beberapa hari yang lalu saya ngopi-ngopi-setelah maghrib sama dua sahabat saya. I don't know if it counts as a bukber or not, but I had REAL conversations with them. Lumayan lama nggak ketemu, kami ngobrol-ngobrol dari hal kecil sampe urusan perasaan. Yang satu cerita tentang kehidupannya pasca putus dari mantannya, yang satu lagi sedang merayakan 'kebebasan'nya dari sebuah event yang menyita waktunya siang-malam kurang lebih sebulan ke belakang. Saya? Dengerin aja sambil makan indomie goreng pake telor, sosis bakar, seruput air putih biar gak keselek, lalu lanjut roti bakar.
*para pembaca mulai hening*
*"Si Anita usus 12 jarinya segede jari Hulk kali, ya.." bisik PaPemTil sekalian*
LAPER, BOK! JALANAN RAME GILA-GILAAN JAM SEGITU LEWATIN SEMANGGI MAU KE SUDIRMAN KAYAK MAU MASUK NERAKA SAKING PADETNYA. Makanya saya lapernya kayak abis puasa dua tahun berturut-turut..
*cari alesan*
*padahal emang si Anita anaknya laperan ceunah*

Ada satu percakapan kami yang bikin salah satu dari mereka agak 'marah' ke saya, in a good way. Saya cuman dengerin sambil cengar cengir, bukti nyata bahwa 'kenyang bikin bego' itu benar adanya, pemirsa. She says,"Maaf ya gue ngomong gini, Ta". And I answered,"Not, it's okay. Kapan gue pernah marah sama omonganlo? Mulut dia *nunjuk temen saya satu lagi* yang lebih sampah dari lo aja gue gak pernah marah" kemudian temen saya yang lagi makan roti bakar itu pun mengangguk,"Gue sampe bilang sama pacar gue, 'Aku mah udah nggak peduli Anita mau ngomong apa. Dia juga gitu' saking kita udah ngerti udah tau koreng-koreng satu sama lain"

Kemudian setelah dia ngomong begitu sambil makan roti bakar, saya jadi mikir.
Enel uga ya.
Ehm. I mean, "Bener juga ya".

They are two of my closest friends. Mereka tau baik buruknya saya. Dari prestasi saya yang paling membanggakan (which, nggak ada) sampai aib saya yang paling menjatuhkan. I trusted them to show my real self. Nggak ada yang saya sembunyikan, nggak ada yang saya tutupi. Bukan karena pertemanan kami sudah berlangsung lama, but when it comes to bestfriends, you just got the feeling. That faith.
I'm waaaaaaaay to far to a perfect person. But they accept my imperfections and touch them, not to be a perfection, but to be a nice thing.

Mereka bukan tipikal sahabat-sahabat yang seperti di film AADC yang kalo ada yang lagi sedih, duduk melingker rame-rame terus meluk saya yang lagi nangis sesenggukan. They're tough ones. Diingetin supaya berpikir dua kali sebelum bertindak? Selalu. Di-mampus-mampusin dikatain goblok karena saya merasakan akibat dari kesalahan yang saya buat sendiri? Pernah banget. Tapi sehabis itu, apa mereka pergi ninggalin saya yang sudah berbuat tidak hati-hati dengan keputusan saya?
No.
They always stayed.
And watch me fix my life.

Saya nggak peduli kalo mulut mereka kayak tong sampah, karena kata-kata kotor sering banget meluncur dari lisan kami dalam percakapan sehari-hari. Saya nggak peduli kalo mereka tidak berasal dari keadaan yang sempurna. Justru itu yang membuat saya lebih menghormati mereka. Mereka berjuang, dari tidak ada menjadi ada, and they get along with it. Itu yang membuat saya tidak akan pernah melepaskan mereka dari hidup saya.
Saya banyak belajar dari mereka.
Saya banyak tertawa ketika mereka ada di sekitar saya.
Tidak peduli se-sampah apapun mulut mereka.