26 February 2017

Intuisi

Saya baru bertemu seorang teman baik sore ini. Sebut saja dia Ms. Theressa.
Kami duduk berhadapan, dengan cangkir kopi masing-masing dan sebuah asbak yang setengah terisi. 
Kami bercerita tentang current issue yang sedang kami alami sekarang-sekarang ini. Dia memulai sesi dengan sebuah cerita yang agak membuat pupil mata saya memperbesar ukurannya dan rahang saya agak terbuka dengan sendirinya. Saya tidak menyangka dia akan mengalami hal sebegitu menyakitkannya. Dia bercerita sambil tertawa getir, dan saya menangis di hadapannya. Tidak membantu, memang. Namun tidak ada airmata yang jatuh dari sepasang mata indahnya. "Udah lewat nangisnya", kata dia. Saya menghapus airmata saya dan menceritakan apa yang akhir-akhir ini menambah kisah di dalam hidup saya. Tidak banyak, memang. Hanya seputar pekerjaan dan keluarga. Namun, untuk kedua kalinya, saya menangis di hadapan dia. Cengeng emang si Anita. Dengerin cerita orang nangis, menceritakan cerita sendiri ke orang pun nangis. Saya tadinya mau menyalahkan hujan yang turun dan menghadirkan mood gloomy, tapi saya malu sama isi dompet yang lebih membuat gloomy daripada hujan. Jadi, ya saya diam saja.

Kemudian saya dan Ms. Theressa melanjutkan percakapan. Topik yang kami bicarakan lebih ringan dan cenderung tolol, sebenarnya. Kami banyak menghabiskan waktu untuk tertawa-tawa bodoh diiringi hujan dan suara knalpot Kopaja. Apapun bisa jadi bahan tertawaan kami: dari gosip terkini hingga ukuran sepatu. I spent a great time with her. Hingga akhirnya saya menulis postingan ini, saya masih bisa nyengir mengingat berbagai jenis kebodohan yang kami lakukan tadi sore. Saya rasa orang tidak akan mengira jika dua perempuan di pojokan tersebut mengalami kejadian yang menguras tenaga dan pikiran di minggu sebelumnya. 

Saya dan Ms. Theressa memiliki benang merah yang kurang lebih sama dalam kehidupan kami: Kerap dihantam intuisi. 

pic source





Saya tidak bisa bercerita tentang kejadian macam apa yang menimpa Ms. Theressa dan intuisinya karena dia punya privasi yang sangat saya hargai. But I can tell you a thing about my love-hate relationship with my intuition.

Saya bukan tipikal orang yang memiliki banyak teman. Kalian bisa cek semua akun sosial media saya, foto yang saya posting ya orangnya itu-itu aja. Selain karena sosialisasi bukanlah fokus saya, saya merupakan orang yang cautious. Ketika saya bertemu dan berbicara dengan orang baru, saya bisa langsung memutuskan apakah saya akan melanjutkan hubungan relasi dengannya atau tidak. 5 menit pertama sangat krusial bagi saya. Jika saya rasa dia bisa masuk ke dalam kehidupan saya, maka saya akan mengingat namanya di kepala saya yang kapasitasnya tidak seberapa. Namun jika tidak, I'll just be nice but that's it. Intuitif? Jelas. Banyak orang bilang bahwa saya tidak bisa berbasa-basi. Mereka bisa jadi benar, saya tidak pandai berbasa-basi, because I think I'm not good enough for them. So I'd usually walk away from their life, preventing us to waste anymore of our time.

Intuisi seringkali menyelamatkan saya dari hal-hal tidak penting yang dapat membuang waktu dan tenaga saya. Namun tidak jarang juga intuisi menenggelamkan saya dalam kesedihan dan sama sekali tidak mengulurkan tangan untuk mengangkat saya. Ia hanya akan memperhatikan saya dari kejauhan, dan berkata persis seperti gambar di atas: "I told you".


Saya sadar banyak orang yang tidak menyukai sifat saya yang ignorant dan keras kepala. Tapi tidak banyak yang tau kalau saya hanya menuruti intuisi saya. Oh tentu saja, dia, sang intuisi, seringkali pula menjadi korban ke-keras kepala-an saya. Kadang hasilnya sesuai dengan prediksi saya dan menyebabkan logika mencibir keras kepada sang intuisi, namun tidak jarang juga logika yang meringkuk di pojokan kepala saya karena babak belur dihantam intuisi yang berkali-kali bilang,"MAKANYA NURUT SAMA GUE!!" lucu memang, mereka berdua. Serupa namun tak sama. Jika saya nggak tau harus memihak siapa, biasanya saya akan berakhir menangis kebingungan, dan di saat itulah mereka berdua berdamai dan sama-sama mencari jalan keluar akan situasi yang sedang saya alami.

Saya bukanlah orang yang sempurna, saya tau persis itu. Namun bukan berarti saya tidak bersyukur dengan semua yang sudah dan sedang saya jalani dalam hidup saya. Saya banyak belajar, banyak menjalani proses, banyak mendapatkan hasil baik yang membuat saya tersenyum puas maupun menangis semalaman. Saya mengerti jelas bahwa love-hate relationship yang saya jalani dengan sang intuisi masih akan terus berlanjut hingga hembusan napas terakhir saya. Karena masih ada banyak hal yang harus saya alami dan pelajari untuk membuat saya menjadi orang yang lebih baik dari sekarang, menurut versi saya. Saya tidak keberatan. Karena memang harus begitu. Supaya tau rasa, jadi bisa belajar lebih cermat, bisa menjadi orang yang lebih bersyukur dan rendah hati.

Kalian juga tidak akan banyak membaca tulisan saya lagi di blog ini. Karena saya sedang tunduk patuh kepada sang intuisi yang mengatakan bahwa saya harus lebih berhati-hati. Ketidak hati-hatian saya pernah mengakibatkan saya menyerahkan kepala saya untuk diinjak oleh pihak lain demi keselamatan orang-orang terdekat saya. Dan saya tidak ingin mimpi buruk yang sama kembali menghantui tidur saya. 

Sudah. Itu saja.