Orang bilang Umrah adalah perjalanan spritual yang maknanya tidak akan sama pada tiap orang. Saya, sebagai orang yang beragama namun tidak terlalu taat, menganggap Umrah hanyalah sebuah ‘liburan’ biasa dengan latar belakang agama. Setidaknya, pemikiran tersebut menetap di pikiran saya hingga saya mengalaminya sendiri. Saya baru saja kembali dari menjalani ibadah Umrah bersama keluarga: orang tua dan adik saya. Pesawat kami landing tadi pagi, 20 Februari 2020, pukul 09.30 pagi.
Hari-hari pertama menjalani rangkaian wisata ibadah ini memang menyenangkan: kami landing di Madinah, jarak dari airport ke hotel tidak terlalu jauh, dan yang paling penting, jarak dari hotel tempat kami menginap ke masjid Nabawi, hanya 1 menit jalan kaki. Dekat sekali sampai kami bisa mendengar adzan yang berkumandang dari kamar kami. Suhu udara masih sejuk cenderung dingin karena kami datang di mana musim dingin baru berakhir dan musim panas belum datang. Semangat sekali saya jalan kaki ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Masjidnya bagus, bersih, dan teratur. Kebanyakan orang di sana — petugas hotel, penjaga toko, sampai petugas masjid, bisa berbahasa Indonesia walaupun mendasar sekali. Saya jatuh cinta pada damainya Madinah.
Tiba pada hari ke 4, di mana kami sekeluarga bersama rombongan harus berangkat ke Mekkah. Di sini keindahan itu mulai terkikis.....
Kami harus melakukan perjalanan kurang lebih 5 jam dengan bus. Di awal perjalanan, kami sudah harus memakai baju ihram, serta larangan-larangan yang telah berlaku: tidak boleh ada sehelai pun rambut yang terlepas dari tubuh, tidak boleh ada sesenti pun kuku yang patah karena dipotong atau digigit secara tidak sadar, tidak boleh memakai wangi-wangian (ini yang paling membuat iman saya tergoyahkan, karena saya paling takut sama yang namanya bau — selalu stand by minyak wangi di tas saking takutnya badan saya bau dan mengganggu orang sekitar), dan hal-hal lainnya.
Kami tiba di Mekkah sudah malam sekali, lalu langsung ke hotel untuk check in dan tidak lama dari situ, diharuskan untuk berkumpul lagi dan melakukan Tawaf (berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali) dan Sa’i (berjalan bolak-balik bukit Safa dan Marwa, sebanyak 7 kali juga). Pengalaman pertama kali melihat Ka’bah memanglah sangatlah luar biasa. Perasaan kagum, haru, dan bahagia kurang lebih bercampur jadi satu. Jarak dari hotel tempat kami menginap ke Masjidil Haram di mana Ka’bah berdiri kokoh selama ribuan tahun di dalamnya, juga sangat dekat. Namun kedua faktor tersebut tidak bisa membuat saya menyembunyikan emosi saya dari rasa lelah dan pegal karena energi yang sudah sangat menipis.
Kami selesai Tawaf dan Sa’i kurang lebih pukul 1 dini hari. Kaki saya mau copot rasanya. Pegel luar biasa. Saya menjadi anak yang sangat cranky dan melemparkan attitude tidak ramah kepada sekitar terutama pada orang tua saya, yang saya yakini membuat orang tua saya malu punya anak se-nyebelin itu. Kami baru tidur sekitar jam 2 dini hari, sehingga adzan subuh pun tidak terdengar dan kami sekeluarga kesiangan, padahal di dalam kamar ada speaker yang tersambung ke sound system Masjidil Haram sehingga adzan dan shalat berjamaah yang sedang berlangsung, bisa terdengar. Emang kayaknya kami aja yang agak kebo’ sih tidurnya.
*ditabok*
Tawaf dan Sa’i kedua di 2 hari setelah Tawaf dan Sa’i pertama saya jalani dengan less cranky karena sudah cukup tidur dan belajar dari pengalaman sebelumnya, tidak mau membuat orang tua saya malu. Walaupun pegelnya masih nggak masuk akal, saya sampai berpikir, mungkin ini cara Tuhan kasih tau saya bahwa I’m not good enough for this. Hahaha.
*ketawa pasrah nahan nangis*
Hari-hari di Mekkah yang seharusnya lebih menyenangkan karena saya bisa merasa lebih dekat dan ‘intim’ dengan Tuhan, justru lebih berat rasanya. Karena Mekkah ini lebih padat, lebih ‘berantakan’ karena lebih banyak jenis manusia yang datang ke situ, dan suhunya tidak sesejuk Madinah, yang tentunya lebih mudah membuat saya cranky karena rame banget boooosssshhhh nggak shanggup eke. Banyak orang-orang nggak tau aturan yang main selak antrian, untuk datang dan shalat di spot yang nyaman dan beralaskan karpet pun lebih kecil kemungkinannya. Mau minum air zamzam juga ngantri banget dan berdesakan, intinya sih ya Mekkah untuk saya, tidak senyaman Madinah. Saya mulai malas datang ke masjid dan lebih memilih untuk shalat di hotel saja yang pastinya lebih sejuk dan tenang. Sempat istighfar, namun tetep aja kalo nggak bareng sama Ibu saya, saya ogah jalan sendiri ke mesjid.
Tiba pada akhirnya di hari terakhir, hari kepulangan ke Jakarta. Namun sebelum pulang, ustadz pembimbing kami meminta kami berkumpul jam 02.30 DINI HARI lalu melakukan Tawaf Wada yang merupakan gestur ‘pamitan’ kepada Tuhan karena kami akan meninggalkan tanah suciNya. Saya sudah pasrah dan honestly, mulai mempertanyakan kenapa Tuhan menetapkan cara begini banget sih buat komunikasi. Saya menjalani tawaf dengan biasa saja, tidak ada perasaan sedih ataupun haru lagi, karena tujuan saya hanya satu: TIDUR DI PESAWAT MENUJU PULANG.
Ustadz pembimbing memberi kami 2 pilihan untuk dilakukan jika sudah selesai Tawaf: Menunggu sekitar 2 jam menuju subuh namun bisa shalat subuh sambil memandangi Ka’bah, atau balik ke hotel, tidur, dan sholat subuh di hotel saja karena kalau sudah ‘pamit’ dengan melakukan Tawaf Wada, kami tidak diperbolehkan untuk mendatangi Masjidil Haram lagi. Oh tentu saja tekad saya sudah mantap untuk BALIK KE HOTEL DAN TIDUR LAGI. Karena capek dan ngantuknya ya Tuhaaaaan!
Kami selesai Tawaf Wada, saya shalat sunnah Tawaf 2 rakaat, seperti seharusnya. Ngantuk dan capek jadi satu. Maka kalimat pertama yang saya ucapkan setelah mengucap salam di tahiyatul terakhir adalah:
“Ya Allah, capek.....”
Yang tadinya maksud saya adalah saya ‘capek’ karena tawaf ini, namun mendadak seluruh memori buruk yang saya alami, dimuntahkan semua oleh Hippocampus otak saya, seolah-olah dia bilang,”Capek? Nih semua memori nggak enak yang bikin capek NIHHHH SEKALIAN NIHHHH!”
...
Saya menangis luar biasa, dalam diam. Setengah mati menahan isak, karena Ibu saya berjarak tidak jauh dari saya jadi kalo beliau nengok dikit, beliau bisa liat anak perempuannya lagi cirambay berlinangan air mata dan ingus. Mana gak bawa tissue, jadinya meper ingus di ujung lengan baju, kadang kerudung yang saya pakai, yang memang agak panjang.
Kalimat singkat yang terdiri dari tiga kata namun satu inti tersebut membuat saya berubah pikiran: saya akan tetap berada di sini. Nunggu 2 jam nggak masalah, yang penting bisa berlama-lama memandangi Ka’bah.
Saya menghabiskan waktu menunggu subuh dengan banyak hal: main game, dzikir, main game sambil dzikir, apapun yang membuat saya tidak ketiduran dan kehilangan wudhu (karena kalau tidur yang sampai hilang sadar, katanya wudhu dianggap batal. Sementara tempat wudhunya ada di luar mesjid yang kalo saya keluar lalu balik lagi, belom tentu nemu spot di depan Ka’bah lagi).
Ketika saya main game, ada 1 ibu-ibu Arab yang berdiri di sebelah saya, membaca Al Qur’an. Ada kali tuh 15 menit dia berdiri. Saya agak heran juga ngapain dia baca Al Qur’an sambil berdiri padahal mah enakan duduk kan ya. Namun dengan banyaknya pengalaman liat kelakuan orang-orang yang ‘unik’ di Masjidil Haram ini, saya memutuskan untuk nggak mikirin kira-kira apa alasannya baca Al Qur’an sambil berdiri begitu, karena toh suaranya enak juga, lalu saya kembali ke game yang sedang saya mainkan dengan backsound suara Ibu tersebut baca Al Qur’an. Lumayan juga nih, perasaan jadi adem.
Saya main game.
Ibu itu masih baca Al Qur’an sambil berdiri.
Saya masih main game.
Kemudian ibu itu meletakkan Al Qur’an yang tadinya dia baca, ke paha saya.
HAH HAH APA-APAAN INI SEMBARANGAN BANGET WOY KAGET GUAAAAAH!
Saya nengok ke arah ibu itu, dan dia sedang dalam posisi Rukuk.
HAH HAH TERNYATA DARI TADI DIA BACA AL QUR’AN SAMBIL BERDIRI ITU......DIA SHOLAT????
Saya kaget. Yaiyalah kaget, masa huruf udah segede gitu tanda tanya sebanyak itu masih kurang menunjukkan ekspresi kaget?
Ibu itu masih sholat. Yaiyalah menurut ngana?
*digampar kursi lipet*
Kemudian ibu itu sujud. Lama sekali. Ada kali 5 menit. Asli.
Di sujudnya, dia berbicara dalam bahasa Arab. Saya tidak tau artinya, namun saya bisa merasakan kelirihannya. Dia terdengar pasrah, dan benar-benar berserah. Saya mulai nyuekin game yang lagi saya mainin, dan fokus mendengarkan si Ibu.
Dia bangun dari kedua sujudnya, saya ngasih Al Qur’an-nya ke dia, supaya dia bisa baca lagi di dalam sholatnya.
Durasi baca Al Qur’an sambil berdiri masih sama dari sebelumnya. Namun kali ini bye-bye Matchington Mansion. Saya mendengarkan si Ibu baca Al Qur’an. Jika rakaat pertama saya menganggap suara dia membaca Al Qur’an menyejukkan, di rakaat kedua ini, saya mendengar intonasi yang lebih sendu namun tetap kuat.
Air mata saya mulai berkumpul di sudut mata, seolah-olah mereka mau konvoi turun ke pipi saya, barengan sama ingus.
Dan benar, saya menangis, hanya karena mendengar bacaan Al Qur’an yang saya nggak tau itu surat yang mana ayat berapa artinya apa.
Si Ibu rukuk dan kembali memberikan Al Qur’an-nya kepada saya. Berbeda dengan rakaat pertama yang mana saya hanya meletakkan Al Qur’an di paha saya lalu saya lanjut main game, kali ini saya peluk Al Qur’an-nya, saya jaga baik-baik. Si Ibu sujud, suaranya makin lirih, saya makin nangis. Padahal ngerti dia doa ape juga kagak. Saya ngeliatin dia sujud, berdoa sungguh-sungguh, nadanya pasrah, seolah-olah dia benar-benar menyerahkan kehidupan nasibnya kepada Tuhan. Saya serasa ditampar melihat kejadian ini. Di sebelah saya ada yang benar-benar mempercayakan kehidupannya ke Tuhan, sementara saya masih mempertanyakan beberapa hal sepele yang berhubungan dengan agama ini.
Si Ibu selesai sholat, saya kembalikan Al Qur’an-nya ke dia. Dia tersenyum dan mengucapkan,”Syukron”. Matanya berkaca-kaca, dia mengusap Al Qur’an-nya dan mengusap wajah saya sambil berbicara dengan bahasa Arab, yang walaupun saya tidak mengerti artinya, saya yakin dia mendoakan saya. Saya makin menangis, dia mengusap pipi saya, memandang saya sungguh sungguh dan berbicara dengan bahasa Arab yang lagi-lagi walaupun saya tidak mengerti artinya, namun saya merasakan ada energi yang menguatkan saya untuk menjauhkan diri dari keputus asaan.
Adzan subuh berkumandang, kami pun mengikuti shalat berjamaah. Saya memang merasa istimewa ketika bisa shalat sambil memandangi Ka’bah, namun shalat kali itu benar-benar berbeda rasanya. Lebih istimewa dan ‘mewah’, karena saya mendapatkan pengalaman dengan si ibu ini. Saya menangis tidak berhenti dari mulai rakaat pertama. Saya merasakan kepasrahan yang mengalir deras dari air mata saya, merasakan bahwa sebagaimanapun saya melawan, saya hanyalah manusia biasa yang memiliki batasan energi. Dan hanya dengan berserah diri lah saya mendapatkan dorongan energi baru untuk terus berjuang dan melawan diri sendiri dari keputusasaan.
Shalat subuh berakhir, Ibu saya menghampiri saya dan mengajak saya pulang ke hotel untuk siap-siap check out. Saya merapikan barang-barang saya yang honestly, prosesnya saya lama-lamain supaya Ibu saya jalan duluan. Dan benar, beliau jalan duluan. Saya berdiri untuk berjalan menyusul ibu saya, namun ada perasaan yang mengganjal. Lalu saya menghampiri si ibu tadi, dan menggenggam tangannya.
“Thank you so much”
Hanya kalimat itu yang bisa saya ucapkan di dalam tangis saya kepadanya. Dia juga ikut menangis, mengusap punggung tangan saya, dan tersenyum. Dia mengangkat kedua tangannya sambil berbicara bahasa Arab, yang saya yakini sebagai sarannya kepada saya untuk terus berdoa. Saya hanya bisa mengangguk sambil menangis, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan dia karena saya harus menyusul Ibu saya yang kalau jalan udah kayak pake sepatu roda saking cepetnya.
Saya kembali ke hotel, packing, dan lalu bergegas check out bersama keluarga saya. Di jalan saya terus memikirkan si Ibu itu, dia gimana sekarang, masalah apa yang sebenarnya lagi dia alami, apakah doa-doanya sudah terjawab, namun kemudian saya sadar bahwa yang penting bukanlah doa yang terjawab atau tidak, melainkan kerendahan hati kita sebagai manusia untuk selalu berserah diri karena tidak ada ketenangan hati yang lebih murni dari keyakinan akan doa sebagai fondasi utama dari segala sesuatu yang sedang kita usahakan atau lakukan.
Saya datang ke Mekkah dengan perasaan sombong sebagai manusia, dan saya meninggalkan Mekkah dengan perasaan haru, di mana Tuhan menyadarkan saya dengan mempertemukan saya dengan Ibu-ibu random yang baca Al Qur’an sambil berdiri namun dia menjadi sosok yang sangat hebat di mata saya, dengan keimanannya.
Terima kasih, Tuhan. Saya tidak akan melupakan pengalaman berharga ini sebagai pengingat saya bahwa do’a adalah sumber energi terbaik yang pernah ada. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.