17 April 2013

"Twenty dollah fo' two!"

"Eyy, eyy, Miss! Look, ah! Look! Twenty dollah fo' two! Twenty dollah! Come, come!" Begitu kira-kira laki-laki paruh baya memanggil-manggil saya yang lagi jalan celingukan di pinggiran Bugis Street, Singapore, Maret 2012. Saya menghampiri Opa yang jiwa marketingnya tinggi itu. Ternyata dia jualan jam tangan KW ala-ala. Segala macam merk ada di situ. Calvin Klein, Fossil, Rolex, dan beberapa merk lainnya dari yang saya sering liat di toko sampai yang belum pernah dengar sama sekali.
"Twenty dollah fo' two, ah. Good! Fo' yo' boyfriend!" dia menunjukkan saya beberapa pilihan jam tangan yang berpasangan. Model yang sama dengan ukuran yang berbeda: yang lebih kecil untuk perempuan, yang lebih besar untuk laki-laki. Saya menilik-nilik dengan teliti model mana yang saya sukai. Sempat tertarik kepada sepasang jam tangan Calvin Klein ala-ala berwarna hitam, cuman rasanya kok ya kurang sreg. Kemudian saya memutuskan untuk pergi dari stand itu, sampai akhirnya..
Saya lihat jam tangan di pojokan display dengan gambar bendera dari berbagai macam negara sebagai pengganti angka penanda waktu. Berbahan alumunium dengan design yang simple. Unik sekali. Saya kemudian memberikan Opa itu SGD 20 dan kemudian membawa bungkusan yang berisi sepasang jam tangan unik itu dengan senandung sember penanda excitement yang meluap-luap.

"Lucu juga nih buat pas LDR beda benua", saya ngomong sendiri dalam hati, tentu saja sambil nyengir lebar.

Seminggu setelahnya.
Kami bertemu, dia ke Jakarta hanya sehari untuk keperluan interview Visa C1/D untuk bekerja. Di warung pecel ayam depan kantor saya waktu itu, setelah membasuh tangan seadanya dengan wangi terasi yang masih menempel di kuku, saya berikan kotak yang bikin saya cengar cengir sepanjang jalan kenangan.
"Nih"
"Apa ini?"
"Buka aja"
Dia membuka kotak itu, melihat jam tangan "Twenty dollah fo' two" yang dijual Opa Bugis, memandang mata saya dan tersenyum.
"Terima kasih, ya"
Saya mengangguk, masih cengar cengir, entah ikut senang karena dia suka dengan pemberian saya atau emang saya mabok sambel terasi pecel ayam yang baru saja saya makan.
Malamnya, kami jalan-jalan dan berkumpul dengan beberapa teman, menikmati waktu yang sangat singkat untuk ngobrol dan bersenang-senang.
Ya, bersenang-senang..

Time goes by. LDR SLJJ yang kemudian berubah status menjadi LDR SLI selama 10 bulan dijalani. Up and down, laugh and tears, anger and happiness, kurang lebih sudah dirasakan. Sampai akhirnya, dia pulang. Status LDR pun kembali berubah menjadi LDR SLJJ. Saya senang bukan main. Akhirnya, setelah 10 bulan jadi kambing bengong akan kembali kepada rutinitas menjadi kambing kenyang. Sebentar, kenapa kambing? Kan dia keteknya empat, bau pula. Ah, sudahlah.
Semuanya sudah saya persiapkan. Excitement dan semangat yang sudah menggebu untuk akhirnya bertemu dan bertukar cerita ke satu sama lain sudah dibungkus dengan ciamik untuk akhirnya dibuka dan dibahas. Segala harapan dan bayangan akan hangatnya pelukan juga nyamannya genggaman tangan juga sudah terus berputar di kepala.

Namun, manusia boleh berencana, Tuhan-lah yang maha menentukan..


Siang tadi, I decided to let him go.

Saya tidak mau terus memaksakan kehendak. Saya tidak mau terus berenang-renang di dalam keegoisan saya yang akhirnya akan menenggelamkan diri saya sendiri. Saya tidak ingin terus mengejar sesuatu yang terus berlari tanpa hasil. Time flies, people change, all of us knows that that's normal. Unfortunately, my naive mind stays.

Saya tidak bisa menjelaskan apa-apa di sini, karena memang tidak ada yang harus dibicarakan. Saya tidak menyesal akan apa yang sudah saya lakukan dan lalui selama satu tahun beberapa bulan ke belakang. Kekecewaan pasti ada, but please remember that I'm only a human. I expect too much and that leads me to such disappointment. Again, that's normal. Ini proses. I cried, I screamed, I cursed. I didn't want him to be like this, yet I can't always push him to do whatever I want, termasuk keinginan saya untuk kami bertemu and talk about the whole thing secara baik-baik.

And now, here I am.
Writing the last post of this "Om Swastiastu" tag in this blog, hoping that he'll be having a good life ahead without me.
Karena mungkin saya sudah cukup memaksa dia untuk terus berjalan beriringan, yang tanpa saya sadari, dia perlahan berhenti.

Thank you for everything, Kadek Yudiarta. You'll be great, I'm sure.
:)

---


P.S:
Saya sedikit mengkorelasikan hubungan kami dengan jam tangan yang dibeli dari Opa Bugis tadi.
Ketika pertama kali jam tangan itu saya beli, jarum penunjuk detik, menit dan jam-nya masih berjalan dengan baik. Sempurna.
Ketika saya memberikan jam tangan itu ke dia, fungsi dari batere jam tersebut juga masih prima. Barry kali ah, prima.
Ketika kami mulai menjalani LDR SLI, jam tangan itu masih berfungsi dengan baik, di Jakarta ataupun di USA.
Beberapa bulan kemudian, fungsinya di saya sudah mulai melambat.
Tidak lama, mati total.
Saya paksakan kehendak saya dengan mengganti baterenya, karena saya masih membutuhkan jam tangan itu untuk berfungsi.
Dia pulang ke Indonesia, jarum penunjuk detik, menit dan jamnya sudah mulai melemah.
Seminggu kemudian, mati sama sekali. Sampai sekarang.
Quite "representing", no?
:)

Thank you, K.. It has been a toughtful relationship for me.