29 September 2012

A prove of love and faith

Rabu kemarin, saya makan siang.
Bukan sekedar makan siang biasa, tidak ada sepiring ketoprak dengan telor ceplok di depan saya, melainkan seorang teman. Teman lama, yang tidak akan saya sebutkan siapa dan namanya di sini, for the sake of privacy.

So, let me begin the story.

Siang terik, sekitar jam 2 siang di Sudirman dan sekitarnya. Sinar matahari terasa panas menusuk, setajam tatapan perempuan yang sedang insecure sama pacarnya. Kebetulan dia habis ada panggilan untuk melakukan psikotes di kantor saya untuk kebutuhan recruitment pegawai baru. Setelah memesan es teh manis untuk dia dan es teh tawar untuk saya, kami menyalakan rokok masing-masing (baca: rokok dia yang saya rampok MUAHAHAHAHA), kami memulai pembicaraan. Been a long time since our last conversation. Kalau dirasa-rasa tanpa diraba, kangen juga saya sama kampret yang satu ini.
Kami memulai pembicaraan dengan topik standard: Current life.
Dia menanyakan bagaimana pekerjaan saya yang sekarang, begitu juga dengan saya. Kami saling bertukar cerita, sampai akhirnya..
Dia: Gue kan kemaren sempet juga dipanggil di tempatnya (salah satu nama teman kami)
Saya: (dalem hati: gue udah tau, yang lo gak dateng kan? Gue diceritain sama dia. Monyiong gue sebel sama elo udah dipanggil masih mangkir) He eh, terus?
Dia: Gue nanya sama anak gue.
Saya: *bengong* Nanya apaan? Anaklo kan baru lahir?
Dia: Iya, gue nanya sama dia, "De, besok Ayah ada panggilan nih di tempatnya tante (nama teman kami), kalo menurut kamu Ayah lebih baik dateng, Dede nangis ya. Tapi kalo menurut Dede, sebaiknya Ayah jangan dateng, Dede ketawa aja.." eh terus anak gue ketawa, Ta.
Saya: ....terus lo nggak dateng?
Dia: Nggak, Ta.
Saya: (diam seribu bahasa. Asli, saya sangat merasa bersalah sama si kampret yang rokoknya habis saya rampok ini. Maafin gue, ya. Now you read this, no?)
Dia: Terus pas ada panggilan di tempat elo, gue nanya juga nih ke anak gue..
Saya: Nanya gimana?
Dia: Ya sama. Gue bilang, "De, besok Ayah ada panggilan nih di tempatnya Tante Nita. Kalo menurut Dede,  Ayah sebaiknya jangan dateng, Dede nangis ya. Tapi kalo menurut Dede, Ayah sebaiknya dateng, Dede ketawa, ya".
Saya: Terus?
Dia: Anak gue diem aja, Ta.
Saya: Lah?
Dia: Eh terus gak lama, dia nyengir. Yaudah gue datengin ke tempatlo.

Percakapan tentu tidak berakhir di situ, kami masih ngobrol tapi ngalor ngidul. Memang di antara kami, percakapan serius tidak akan panjang umurnya, ya kayak yang saya tulis di atas tadi :))



Satu hal dari percakapan tadi yang terus berputar di kepala saya:
Kenapa dia bisa sepercaya itu sama anaknya?
Bagaimana kalau tawa atau cengiran yang diberikan anaknya setelah pertanyaan itu dilontarkan, tidak berarti apa-apa?
Bagaimana kalau anaknya tertawa karena dia merasa mimik wajah ayahnya lucu dan pantas ditertawakan?
Bagaimana kalau ternyata di tempat teman saya yang lain yang tidak dia datangi panggilan interview-nya, memiliki potensi penghasilan yang JAUH lebih besar?
Kejadian ini sungguh tidak masuk logika. Hanya dengan tarikan bibir saja bisa membuat dia berkeputusan seperti itu?
Kenapa?
Saya rasa, jawabannya hanya satu: Kasih sayang.

Saya percaya, kasih sayang orang tua tidak akan ada batasnya. Kasih sayang yang maha besar pun akan menimbulkan dan kemudian menumbuhkan rasa percaya yang sangat dalam. Bisa jadi tawa dari anak teman saya ini tidak berarti apa-apa. Namun, teman saya ini sangat percaya sama anaknya, dan kemudian yakin, dan akhirnya menjalani apa yang dia yakini. Kita bisa panggil teman saya gila. Sungguh bisa. Mungkin setelah kita ramai-ramai panggil dia gila, saya yang digantung di atas pohon duren. Tapi, tingkat kepercayaan dan keyakinan yang didasari kasih sayang ini sungguh luar biasa. Saya akui, ketika percakapan itu terjadi, saya menahan tangis. Pertama, karena saya menyesal sudah berburuk sangka kepada dia atas kejadian tidak hadirnya dia pada panggilan interview di kantor teman saya, kedua, karena melihat sinar matanya yang sungguh percaya dan yakin atas pertanda yang diperlihatkan anaknya. At that time I saw a prove of something called "True love".. And that's what amazing.
*hapus air mata*
*serius ini nulisnya sambil nangis*

Saya sungguh memiliki rasa sayang kepada teman saya ini. Diantara kami berempat, dialah laki-laki satu-satunya. Bahkan dulu dengan kurang ajarnya kami sering dianggap istri kedua, ketiga, bahkan keempatnya. "Biar adil" katanya.
*toyor pake ulekan sambel*
Sekarang, kami berempat sudah terpisah. Hidup sendiri-sendiri pada jalan masing-masing, namun masih sangat merindukan kebersamaan yang terjalin rusuh namun menyenangkan.
Terutama saya.
*hapus airmata lagi*
Saya selalu berharap bahwa orang-orang yang saya sayangi mendapat seluruh hal baik dan terbaik dari Tuhan. Saya selalu berdoa dan walaupun tidak menyebutkan mereka satu persatu, tapi Tuhan pasti tau siapa "mereka" yang saya maksud.

Oh iya hampir lupa.
Untuk Jango, si penyuka futsal dan nasi Padang,
semoga apa yang elo yakini bisa menghasilkan sesuatu yang baik,
dan gue yakin, true love never fails. Apapun hasil akhirnya, gue tau lo nggak akan kecewa dan menyesal akan keputusan yang udah lo ambil.
Because nothing beats your love to your son, right?
And yes, salam buat Dede Fay.
Tante Nita mau lihat Dede main futsal bareng ayah sambil rumpi-rumpi cantik sama Bundanya Dede, ya?
:)