30 March 2012

Kadek

pic was taken from here


Rabu, 28 Maret 2012. 15.40.
Sudah agak sore, sedikit mendung. Laki-laki berkemeja hitam favorit saya, duduk di sofa merah marun lobby kantor. Dengan senyum yang membuat saya sadar, bahwa kamu, sudah datang. Ada di sini, di dekat saya. Kalau nyawa saya ada 9 kayak kucing, saya rela terjun dari jendela kantor saya di lantai 8, ceritanya mau mengungkapkan kegembiraan saya yang akhirnya ketemu kamu, gitu..
...
Oke. Lanjut nulisnya.

Rabu malam.
Kamu. Duduk di samping kanan saya. Dengan bergelas-gelas bir di depan kita. Kamu nampaknya lupa besok paginya kamu harus bangun pagi sekali untuk interview visa. You held my hand like there's no tomorrow. It's funny to realize that I almost forgot of how perfect your palm fits mine. The warm of your body, the scent of your perfume, the stare of your eyes that dazzles on mine. Malam itu, saya menyadari, saya kangen sama kamu. Kangen sekali. Eh, enggak deh, berkali-kali. Dan kamu tahu gimana rasanya kangen yang terpenuhi? Rasanya kayak kalo makan ketoprak, kerupuknya dikasih sekaleng. Puas sepuas-puasnya.
Kamu suka jam tangannya? Itu saya beli di pinggir jalan di Bugis Street waktu saya ke Singapura kemarin. Satu untuk kamu, satu untuk saya. Tentu saja dengan model yang sama. Sama-sama kegedean juga, maksudnya.
*digetok*
Senyum kamu yang pelit itu, masih jadi favorit saya. Saya juga suka cara kamu cium-cium rambut saya. Itu saya belom keramas, sayang.. Jadi maklum aja kalo agak bau kecoa atau kamu menemukan belatung atau bahkan cangcorang di kepala saya.
*diputusin*
Kita tertawa, kita cengar-cengir bodoh lalu terdiam. Kamu, kesayangan saya, bisa berhenti memandang saya dengan cara seperti itu? Saya nanti jadi makin sayang, bahaya.

Malam sudah mulai larut. Masing-masing kita besok harus bangun pagi sekali. Kamu dengan interview visa-mu, saya dengan membangunkanmu untuk interview visa.
...
Iya, sama aja.
Yuk, sayang. Kita pulang..

Kamis, 29 Maret 2012. 4.30 pagi.
Alarm saya bunyi kencang sekali. Waktunya membangunkan kamu. Saya telpon,  yang angkat temanmu. "Dia lagi minjem setrikaan ke bawah," katanya. Saya lupa kamu ribut sekali mengeluhkan kemeja yang kamu persiapkan untuk interview visa lecek tak berbentuk. Ternyata, kamu bangun lebih pagi daripada saya demi gedor-gedor housekeeping department hotelmu untuk minjem setrikaan. Well..
*tidur lagi*

Masih kamis yang sama, siangan dikit. Jam 8.30 pagi.
Saya setengah modar deg-degan nungguin hasil interview visa kamu. Beberapa pesan BBM saya kirimkan ke kamu untuk menanyakan hasilnya. Belum delivered, berarti handphone kamu belum nyala. Hati saya bolak balik mencelos tiap mengingat segala kemungkinan yang bisa terjadi dengan visa-mu, termasuk red card. Mau mampus rasanya menunggu kamu mengabarkan warna apa yang kamu dapat untuk visamu, kamu tau itu?
Sampai akhirnya,
8.45 pagi.
"Udah"
dan...
"Putih"
Kalau saya sedang tidak di jalan sama Papa saya yang mengantar saya ke kantor, saya akan lompat-lompat jejingkrakan, kamu tau itu? Saya nyengir lebar, selebar badan bunda Dorce waktu belum diet. Muka saya memerah, saya senang sekali. Kamu tahu rasanya berjam-jam nahanin kentut dan akhirnya kentut juga? Nah, rasa leganya seperti itu. Kamu, kesayangan saya, sudah berhasil menendang semua kemungkinan buruk. Kamu, kesayangan saya, mulai Mei besok akan mulai berangkat kerja, ke Amerika.
Akhirnya..

Masih Kamis juga, 16.30.
Saya merengek minta antar kamu, kamu bersikeras tidak mengizinkan saya pulang lebih cepat.
Saya marah karena tidak dapat banyak waktu dengan kamu, kamu diam, lalu,
"Waktunya belum pas. Nanti nah kalo udah ada waktunya, pasti kita bisa bareng-bareng terus"
Tangis saya meledak mendengarnya. Saya, yang tadinya tidak pernah, tiba-tiba meributkan jarak. Saya protes besar. Rasanya lelah. Kemudian,
"Jangan nah gitu. Kan dari awal kamu tau kondisinya kayak gimana.."
Kantor saya yang berdomisili di Sunter yang tadinya mendung mendadak terasa badai. Di dalem kantor. Di depan muka saya. Saya, yang cengengnya luar biasa, makin dibikin sesenggukan.
"Sabar, sayang.."
Rasanya mau terbang dari Sunter ke Cengkareng, saya mau tarik kamu, makin nggak boleh pulang.
"Aku berangkat dulu, ya.. Kamu jangan nangis terus"
Lalu, percakapan kita terputus. Kamu pulang, saya juga. Kamu pulang naik pesawat, saya naik metromini.

Tetep kamis loh, bok, 19.00
"Aku udah nyampe. Nggak ada yang jemput. Mau makan dulu"
"Aku di rumah sepupuku. Makan apaan?"
"Bakso"
"Babi?"
"Bukan nah.. Terus aja tuduh aku makan babi"
"Yowes. Aku mau main dulu ya."
"Iya, nanti aku kabarin"

Kamu, jangan salahin saya kalo saya terus tuduh kamu makan babi. Saya tau kecintaan kamu terhadap daging babi. Gurih, katamu. Ya mana saya tau, saya kan nggak bisa makan babi.

Sayang,
Kamu sudah tau saya sayang kamu. Yang kamu nggak tau itu seberapa banyak saya ngupil dalam sehari. Jarak yang jadi permasalahan utama, sudah tidak saya permasalahkan. Percakapan kita semalam sudah cukup jelas buat saya.
Sayang,
Sudah, ya. Saya mau pulang kerja. Postingan ini akan saya tinggalkan begitu saja, tanpa pedulikan kamu baca atau tidak.
Sayang,
Pulang ngantor saya mau makan bakso. Jangan sirik. Siang ini kamu sudah sukses membuat saya ngidam es campur. Oh iya, saya lupa. Habis makan bakso saya mau beli shampoo. Keramas dong, ah.

Yang lagi sayang sama kamu,
Anita.