02 August 2012

A whole story to answer

Kemarin saya melempar pertanyaan ini ke twitter:

Lalu ada yang bales ini:

Pas pertama kali baca tweet ini, saya langsung nyengir.
Have you ever been in that kind of situation?
I did.
And let me tell you now.

Saya pernah berada di sebuah hubungan dengan satu orang laki-laki yang usianya 7 tahun di atas saya. Dia orangnya pada dasarnya penyayang, namun sangat SANGAT posesif. Intinya, saya nggak boleh lecet sedikitpun sama orang lain. Harus benar-benar terjaga. Iya, TERJAGA.
Awal-awalnya saya senang dan merasa familiar dengan perlakuan seperti ini, secara Papa saya juga orangnya posesif sekali bahkan sejak saya belum lahir ke dunia ini. Jadi menurut saya, kehadiran satu orang lagi laki-laki dengan tipikal seperti itu bukanlah hal yang sulit untuk saya. Toh saya juga sudah terbiasa :)
Hubungan kami berjalan mulus pada awalnya, dia sangat menjaga saya. Sampai lama-lama..
"Aku mau pergi ya sama temen-temenku"
"Jangan"
"Kenapa?"
"Karena aku nggak kemana-mana, jadi kamu jangan kemana-mana"
Yes, people. Awalnya pernyataan ini merupakan "WTF moment" untuk saya. But then I realized, daripada saya ketemu temen-temen saya dan dia nggak kemana-mana, lebih baik saya ketemu dia.
Dan pola seperti itu pun tertanam selama hubungan kami pada tahun pertama, saya seneng-seneng aja YAIYALAH ANAK PEREMPUAN LAGI POL IN LOP DIAJAKIN PACARAN TERUS SAPEEEE YANG KAGAK DEMEN.
Iya, sih. Emang saya-nya aja yang kegatelan.
...
Lanjout!
Saya masih seneng-seneng aja ketika saya ijin mau pergi terus nggak boleh sama dia dan dialihkan pada ketemuan sama dia. Sampai akhirnya....
Saya nggak punya temen.
Satu pun.
Ketika saya protes ke temen-temen saya kenapa saya nggak diajakin pergi lagi, mereka pun bailk protes,
"Ah, percuma. Lo juga gak boleh kan sama pacarlo?"
Jeng jeng.
Saya mulai menyesal dan marah, sampai akhirnya saya malah protes ke dia,
"Aku paham sih kalo kamu nggak ngebolehin karena akan pulang malem.. Tapi kalo terus-terusan kayak gini, nanti akunya yang nggak punya temen.."
Dan dia-pun mulai melonggarkan "peraturan"nya. Saya boleh pergi sama temen-temen saya, tapi sebelumnya harus ketemuan dulu sama dia. Yang berujung pada, saya lebih memilih dia daripada temen-temen saya.
Iya, iya, emang dasar saya-nya aja yang kegatelan pengen sayang-sayangan.

Memasuki tahun kedua..
Saya makin nggak punya temen. Tiap Senin-Jumat pulang sekolah, nyamperin ke kosannya dia, menghabiskan waktu sampe sore, lalu pulang.
Sabtu, main bareng dia dan teman-teman kami.
I even skip my Sundays to attend family gatherings just because I wanted to be with him :))
Jadi intinya, tahun kedua saya, hampir full 365 hari sama dia.
Sampai akhirnya saya merasa bosan.
Yang dari awalnya sangat SANGAT excited karena bisa ketemu terus dan saling bertukar cerita, kini mulai kehabisan bahan. Berantem pun semakin sering. Setidaknya seminggu sekali, dan kebanyakan berasal dari masalah sepele. Dari berantem biasa, saling memaki, sampai akhirnya berakhir pada........
Abusive actions.
Ancam, dorong, tampar, jambak, cekik, sampai sekarang saya punya bekas luka di lutut kiri saya, hasil dari abusive relationship itu.
Bosan? Pasti. Ya siapa yang nggak mau cari laki-laki yang lebih baik daripada diperlakukan seperti itu?
Segala macam pendekatan sudah dilakukan. Dari bicara baik-baik sampai marah besar. Tapi selalu diputarbalikkan dan jadi saya yang salah, dan saya selalu menarik diri untuk menyatakan argumen, saya takut.
Pada akhirnya saya instropeksi, dan hubungan kami membaik. Menjadi lebih baik, tidak ada lagi kekerasan fisik yang saya terima. Senangnya bukan main. Kami terus berlanjut dengan pola hubungan yang sama. Ketemu hampir tiap hari, tetep ada berantemnya sih, cuma cara penyelesaiannya yang berbeda.
Senang? Iya. Bosan? Masih.
:)

Akhir tahun kedua,
Dia sakit. Masuk rumah sakit dan menjalani rawat inap selama DELAPAN bulan. Cuci darah mulai dari seminggu sekali dimana orang normal menjalani tahap awal cuci darah dari sebulan sekali. Diagnosa awal komplikasi infeksi lambung dan liver, menjadi fungsi ginjal yang sudah kurang dari 10%.
Shock-nya luar biasa. Sedih-nya tidak kalah, apalagi kakek saya baru saja meninggal akibat penyakit yang sama. Pada fase hubungan ini, saya memutuskan untuk "mengabdi" kepada dia, no matter what.
Ke rumah sakit hampir setiap hari. Membawakan apa saja yang saya bisa beli dari uang jajan saya yang tidak seberapa. Bolos sekolah, bolos les, untuk dia. Karena saya terlalu sayang.
Pola seperti ini terasa biasa saja pada bulan pertama, namun mulai bulan ke-delapan, saya mulai mencapai titik didih emosi saya. Saya bosan, saya muak, saya sudah tidak kuat lagi. Tapi saya masih tidak bisa melepaskan, karena saya masih sangat sayang..
Namun akhirnya, kami bertengkar hebat, kesempatan terbesar saya. 
Saya minta putus.
He didn't answer.
Tiga hari kemudian, dia pulang ke pelukan-Nya.
Sedih luar biasa, pasti. Menyesal luar biasa? Apalagi. Ya menurut Anda? Saya masih 17 tahun waktu itu, saya kehilangan pegangan saya karena saya terlalu bergantung pada dia, dan jelas saya tidak bisa memaafkan diri sendiri.
Saya terus-terusan berpikir, kalau saja saya sabar sedikit, kalau saja saya mencoba lebih keras lagi..

Butuh 3 tahun setelah kepergian dia untuk akhirnya saya memaafkan diri sendiri, dan memahami bahwa ini sudah termasuk dalam rencana Tuhan. Bahwa inilah cara Tuhan "menghukum" saya. Karena ketika saya melihat ke belakang, banyak hal yang saya lewatkan. Banyak kecerobohan yang saya lakukan. Banyak hal yang tidak saya lihat yang kalau saya tidak dibutakan oleh "kebosanan" yang sepele. Banyak hal yang saya acuhkan yang seharusnya dilakukan yang tertutup oleh perasaan. Karena saya terlalu sayang.
Maka saya belajar, saya memahami, untuk tidak terlalu sayang. Untuk berpegang pada logika, sekeras apapun saya menaruh perasaan pada laki-laki ini.
Dan tentang hubungan yang membosankan, menurut saya it's not that we're loosing the feeling, but it's us that not trying harder to keep the love and faith to each other.
:)

Off to sleep, people. Good night :)