Ehai! Selamat hari Minggu. Bagaimana hari Minggu kalian pada tanggal tanggung ini? Nggak kemana-mana karena bokek? HAHAHAHA KASIAN.
Sama dong sama saya.
*ditiban mesin ATM*
Masih ingat tulisan saya sebelumnya yang ini? Nah kali ini, masih dengan orang yang sama, saya 'janjian' lagi nulis dengan topik yang berbeda. Bukan, topiknya bukan Hidayat meskipun saya napsir berat sama dia apalagi kalo lagi tanding terus wajahnya teralirkan keringat, saya bawaannya mau lari-lari ke tengah lapangan bawa-bawa handuk Good Morning terus elap-elap keringatnya.
*dijejelin nett bulu tangkis ke lobang hidung*
Seperti postingan sebelumnya, saya kali ini akan menulis tentang suatu hal yang mana adalah yaitu:
Mistakes in life I wish I could change.
Sama dong sama saya.
*ditiban mesin ATM*
Masih ingat tulisan saya sebelumnya yang ini? Nah kali ini, masih dengan orang yang sama, saya 'janjian' lagi nulis dengan topik yang berbeda. Bukan, topiknya bukan Hidayat meskipun saya napsir berat sama dia apalagi kalo lagi tanding terus wajahnya teralirkan keringat, saya bawaannya mau lari-lari ke tengah lapangan bawa-bawa handuk Good Morning terus elap-elap keringatnya.
*dijejelin nett bulu tangkis ke lobang hidung*
Seperti postingan sebelumnya, saya kali ini akan menulis tentang suatu hal yang mana adalah yaitu:
Mistakes in life I wish I could change.
People make mistakes, they say. Di dalam hidup ini yang namanya kesalahan pasti ada aja muncul di waktu dan tempat
*kibas poni*
*ke kanan dan ke kiri*
Apalagi orang yang ceroboh kayak saya, pasti ada aja kesalahannya. Entar terlambat, entar salah ngerti padahal udah dikasih instruksi, entar ini, entar itu. Tapi dari sekian banyak kesalahan yang sudah saya lakukan, saya mau menuliskan 2 kesalahan yang sedikit-banyak mengubah hidup saya, yang kalau saya pikirkan lagi hari ini, saya ingin menjadi ilmuwan dan menciptakan mesin waktu agar saya bisa kembali ke masa ketika saya melakukan kesalahan tersebut dan tidak melakukannya.
1. Ulangan Matematika.
Matematika adalah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang paling dijauhi oleh minat saya. Jangan tanya karena apa, pasti karena hitung-hitungannya itu. Kalian kan tau sendiri saya anaknya dermawan, nggak pernah perhitungan apalagi sama temen...
*disambit kalkulator*
Dari semua pelajaran yang melibatkan angka dan hitung-hitungan serta rumus yang menjelimet, Matematika adalah musuh bebuyutan saya. Rasanya kayak ketemu tetangga yang suka ngeliatin dan dadah-dadah creepy sama kita dari balik pagar; mau dihindari kayak apa juga bakal ketemu lagi ujung-ujungnya. Nah kira-kira begitulah relationship saya sama mata pelajaran Matematika ini. Oh jangan sedih, selain Matematika, mata pelajaran yang paling saya nggak suka se-nggak suka nggak sukanya adalah Kimia. Kalian mau tau setidak suka apa saya sama mata pelajaran Kimia? Dari skala 1 sampai 10, angka 5 adalah nilai tertinggi saya untuk mata pelajaran Kimia ketika kelas 1 SMA. Guru Kimia saya waktu itu cuman bisa geleng-geleng pasrah melihat ketidakberdayaan saya terhadap Kimia waktu itu. Kalau saya mengibaratkan Matematika sebagai tetangga creepy yang suka dadah-dadah dari balik pagar, Kimia ini kayak anak magang lagi kerja praktek di kantor kita yang nggak bisa apa-apa tapi sok tahu kalo dibilangin; emang cuman sebentar, tapi tetep aja bawaannya mau ngusir.
Mohon maaf kalau saya mulai ngawur nulisnya, tilcikers. Ketika tulisan ini dibuat, saya lagi dalam keadaan mabuk. Kalian mau tau saya mabuk apa? Mabuk ini:
MABUK NOSTALGIA BROOOOOOO~~
*dijejelin ke dalem bungkus Chuba*
Namun saya menulis tulisan ini tidak untuk menebarkan kebencian. Please remember that I write this post in peace, love, and gaul. Saya memang sangat tidak menyukai Matematika sehingga saya tidak pernah sepenuh hati mempelajari pelajaran itu kecuali tiba saatnya Ujian Nasional yang mempertaruhkan harkat martabat saya di mata keluarga besar demi kelulusan.
Namun dari sekian banyak kesalahan yang saya lakukan seumur hidup saya dalam pelajaran Matematika ini, ada satu kesalahan besar yang saya lakukan. Ketika kelas 2 SMA, saya lagi bosan-bosannya dan waktu itu sedang terjadi event besar yang tak terhindarkan: Ulangan Matematika mendadak. Tidak belajar malam sebelumnya, saya hanya bisa berdoa dan pasrah kepada Tuhan YME dan teman sebelah bangku saya untuk ngasih contekan. Soal pilihan ganda dapat saya lalui dengan baik berbekal contekan, namun ternyata ada satu hal yang saya lupakan: Soal essay.
*hening*
*menangis dalam doa*
INI GIMANA CARANYA BORO-BORO INGET RUMUS INGET KALO SAYA BELOM MANDI PAGI ITU SAJA SAYA SULIT.
Saya pasrah sepasrah-pasrahnya. Saya nengok ke teman saya, dia juga nampaknya terlihat pasrah karena waktu pilihan ganda dia juga ternyata dapat contekan. Saya tengok kiri-kanan-depan-belakang-atas-bawah-luar-dalam, tidak terdapat tanda-tanda pencerahan hidup di dalam ruangan itu. Saya hanya bisa pura-pura sibuk memperhatikan soal, hingga pada akhirnya guru Matematika saya saat itu bersuara dengan suaranya yang halus namun terdengar mencekam bagi saya:
"Sepuluh menit lagi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan"
terdengar helaan napas pasrah dari seisi kelas, rasanya seperti ada dementor di dalam kelas itu. Saya kemudian mengambil pulpen saya dan mulai menorehkan (WOELAH MENOREHKAAAAN) tinta ke dalam lembar jawaban saya.
Bukan mendadak saya mendapatkan pencerahan dari Tuhan dan saya mendadak menjadi murid paling ahli Matematika di dalam kelas, wah kalau kayak gitu mah saya bisa tulis skenario dan jadi sinetron berjudulkan,"Hidayah seorang murid solehah yang bertakwa pada Allah tadinya bodoh menjadi ahli Matematika".
*diselepet majalah Hidayah*
Instead of menuliskan jawaban dari persoalan-persoalankehidupan, saya malah...
Menggambar.
Ya, menggambar.
Level kepasrahan saya sudah berada di bawah level kepasrahan anak paling bodoh di dalam kelas.
Saya awalnya tidak tahu apa yang akan saya gambar pada saat itu. Layaknya main jelangkung, saya hanya mengikuti tangan saya membuat garis demi garis, titik demi titik, hingga jadilah sebuah wajah.
Teman sebelah saya bingung liat saya gambar. "Tolol" katanya sambil ketawa-tawa. Saya cuman bisa nyengir blo'on ke teman saya. Kemudian dia bilang,"Kayak bencong mukanya" dan kemudian saya terpikir satu hal lain: membubuhkan judul untuk gambar saya. Maka di bawah gambar wajah tersebut, saya membubuhkan sebuah kaligrafi tulisan yang bertuliskan:
Bencong.
Yes, I was THAT clueless back then.
Saya hanya bertukar pandangan dan cengiran bodoh nan pasrah sama teman sebelah saya, sebelum waktu habis dan saya mengumpulkan lembar jawaban saya.
Beberapa hari kemudian, guru Matematika saya membagikan lembar jawaban yang sudah diberi nilai olehnya.
Saya dapat 5.
Itu juga karena tertolong contekan dari pilihan ganda, sementara gambar saya mendapatkan tanda tanya besar bertinta merah, menandakan bahwa Ibu Guru tidak mengerti apa yang saya lakukan. Jangankan Ibu, saya aja nggak ngerti sama diri saya sendiri, Bu.
*ikut sesi ESQ seumur hidup*
Saya masih bisa menghadapi hidup saya dengan cengar-cengir pada saat itu. Namun kalau dipikir-pikir lagi, tindakan yang saya lakukan pada lembar jawaban Matematika itu adalah tindakan yang bodoh dan salah, di mana tindakan itu adalah tindakan disrespectful terhadap guru Matematika saya. Saya waktu itu tidak menyadari karena seorang Anita yang pada waktu itu masih berusia 15 tahun otaknya dipenuhi kebodohan dan kekonyolan. Ingin rasanya saya mendatangi guru Matematika saya pada waktu itu dan meminta maaf, namun mungkin dia sudah paham dengan murid-murid bodoh yang hopeless akan Matematika seperti saya. Ibu Desi, nama guru Matematika saya pada saat itu. Kalau beliau baca tulisan ini, mungkin dia ingat siapa saya dan seperti apa bodohnya saya dalam Matematika. Dan semoga beliau paham kalau saya tidak bermaksud meledek ataupun merendahkan dengan gambar tolol saya di lembar jawaban itu. Dan jika saya bisa memutar balik waktu ke masa itu, mungkin saya tidak akan menggambar, saya akan membiarkan lembar jawabannya kosong, ataupun berusaha semampu saya.
2. 3 Oktober 2007.
Bagi kalian yang pernah membaca tulisan-tulisan saya pada tag ini, pasti kalian tahu kalau I lost someone I love dearly pada tahun 2007. Dia berpulang setelah 10 bulan berperang dengan sakit gagal ginjal yang membuatnya 'menggantungkan' hidupnya pada mesin Haemodialysis. Saya masih berusia 16-17 tahun pada saat itu. Emosi yang masih meledak-ledak dan sifat tidak sabar yang mengalir dalam darah saya membuat saya tidak cukup baik untuknya pada saat itu. It's our 3rd year of relationship dan saya merasa mulai lelah, instead kept holding his hand to support him. Tidak mudah bagi saya saat itu menerima kenyataan bahwa orang yang sangat saya sayangi sepenuh hati harus berbaring 5 sampai 6 jam tiap Senin dan Kamis dengan selang yang menjuntai dari pembuluh darahnya ke sebuah mesin jelek yang suaranya sangat mengganggu. Hal itu berlangsung dari akhir 2006 hingga awal Oktober 2007. Selama 8 bulan di rumah sakit, dia menjadi jauh lebih rapuh dan menyebalkan. Sosoknya yang tegap dan gagah lebih meredup digerogoti fungsi ginjalnya yang persentasenya merosot jauh. Kurang dari 10% saya dengar pada saat itu. Dia tidak bisa lagi minum air putih lebih dari 3 gelas kecil dalam 24 jam. Saya yakin tidak banyak orang yang bisa menerima kenyataan pada saat itu. Dan saya tau, saya harusnya lebih bersabar menemani dan mengerti apa yang dia rasakan pada saat itu. 2 bulan terakhir keluarganya memutuskan untuk membawanya pulang dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan yang mana hanya tinggal cuci darah rutinlah yang dia jalani. Mental saya yang sudah jauh terkikis melihat keadaannya, keadaan kami, membuat saya pelan-pelan mulai mundur dan tidak lebih sering menemuinya. Bukan karena saya menemui orang lain, tapi karena saya tidak tahu apa saya masih kuat menghadapi kenyataan di depan mata saya untuk melihat orang yang selama 3,5 tahun menjaga dan melindungi saya harus terbaring dan tersambung ke mesin menyebalkan itu. Sorot matanya yang tajam mulai meredup, dia mulai sulit berucap karena napasnya makin sesak akibat cairan yang mulai memasuki sepasang paru-parunya sehingga tiap saya menelepon dia, yang mengangkat telepon adalah ibunya dengan bilang,"Dia lagi sesak, Nita. Lagi nggak bisa ngomong". Saya biasanya hanya bisa menangis marah setelah menutup telepon.
Percayalah, saya mencoba sekuat tenaga untuk menjadi orang yangcukup baik untuknya.
Sampai pada akhirnya, 3 Oktober 2007 kami ribut besar.
Kami ribut via SMS. Emosi saya sangat memuncak pada waktu itu. Yang pada akhirnya, saya memutuskan untuk meninggalkan dia dan semua keadaannya.
3 hari kemudian, 6 Oktober 2007, saya mendapat SMS yang mengabarkan bahwa dia telah berpulang ke pelukan Yang Maha Kuasa, di tengah-tengah proses cuci darah yang rutin dia jalani.
"Lagi cuci darah, tiba-tiba kejang, lalu udah 'nggak ada' " begitu kata mamanya ketika saya bertanya apa yang terjadi.
Jangan tanya rasanya seperti apa. Kuku dari sepuluh jari tangan saya saya habis saya gerogoti. Oh ya, let me tell you bahwa saya punya kebiasaan buruk untuk menggigiti kuku tangan saya ketika emosi negatif mulai merasuki kepala saya. Sedih, marah, grogi, ataupun bentuknya, pasti saya mulai mengigiti kuku-kuku saya hingga bentuknya nggak karu-karuan. Hal itu saya lakukan to make me feel better, actually.
Dan jika saya diberi kesempatan sekali saja untuk memperbaiki kesalahan saya, saya tidak akan meluapkan emosi saya kepadanya. Instead of kirim SMS marah-marah, saya akan menanyakan kapan jadwal cuci darah selanjutnya, agar saya bisa ada menemani dia, untuk ada di sampingnya. Saya akan mengabaikan bunyi mesin yang naudzubillah bising itu dan menemani dia, memastikan bahwa saya ada untuk dia, dengan porsi kasih sayang yang tidak berubah sejak genggaman tangan pertama.
Sudah, itu saja.
Namun dari sekian banyak kesalahan yang saya lakukan seumur hidup saya dalam pelajaran Matematika ini, ada satu kesalahan besar yang saya lakukan. Ketika kelas 2 SMA, saya lagi bosan-bosannya dan waktu itu sedang terjadi event besar yang tak terhindarkan: Ulangan Matematika mendadak. Tidak belajar malam sebelumnya, saya hanya bisa berdoa dan pasrah kepada Tuhan YME dan teman sebelah bangku saya untuk ngasih contekan. Soal pilihan ganda dapat saya lalui dengan baik berbekal contekan, namun ternyata ada satu hal yang saya lupakan: Soal essay.
*hening*
*menangis dalam doa*
INI GIMANA CARANYA BORO-BORO INGET RUMUS INGET KALO SAYA BELOM MANDI PAGI ITU SAJA SAYA SULIT.
Saya pasrah sepasrah-pasrahnya. Saya nengok ke teman saya, dia juga nampaknya terlihat pasrah karena waktu pilihan ganda dia juga ternyata dapat contekan. Saya tengok kiri-kanan-depan-belakang-atas-bawah-luar-dalam, tidak terdapat tanda-tanda pencerahan hidup di dalam ruangan itu. Saya hanya bisa pura-pura sibuk memperhatikan soal, hingga pada akhirnya guru Matematika saya saat itu bersuara dengan suaranya yang halus namun terdengar mencekam bagi saya:
"Sepuluh menit lagi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan"
terdengar helaan napas pasrah dari seisi kelas, rasanya seperti ada dementor di dalam kelas itu. Saya kemudian mengambil pulpen saya dan mulai menorehkan (WOELAH MENOREHKAAAAN) tinta ke dalam lembar jawaban saya.
Bukan mendadak saya mendapatkan pencerahan dari Tuhan dan saya mendadak menjadi murid paling ahli Matematika di dalam kelas, wah kalau kayak gitu mah saya bisa tulis skenario dan jadi sinetron berjudulkan,"Hidayah seorang murid solehah yang bertakwa pada Allah tadinya bodoh menjadi ahli Matematika".
*diselepet majalah Hidayah*
Instead of menuliskan jawaban dari persoalan-persoalan
Menggambar.
Ya, menggambar.
Level kepasrahan saya sudah berada di bawah level kepasrahan anak paling bodoh di dalam kelas.
Saya awalnya tidak tahu apa yang akan saya gambar pada saat itu. Layaknya main jelangkung, saya hanya mengikuti tangan saya membuat garis demi garis, titik demi titik, hingga jadilah sebuah wajah.
Teman sebelah saya bingung liat saya gambar. "Tolol" katanya sambil ketawa-tawa. Saya cuman bisa nyengir blo'on ke teman saya. Kemudian dia bilang,"Kayak bencong mukanya" dan kemudian saya terpikir satu hal lain: membubuhkan judul untuk gambar saya. Maka di bawah gambar wajah tersebut, saya membubuhkan sebuah kaligrafi tulisan yang bertuliskan:
Bencong.
Yes, I was THAT clueless back then.
Saya hanya bertukar pandangan dan cengiran bodoh nan pasrah sama teman sebelah saya, sebelum waktu habis dan saya mengumpulkan lembar jawaban saya.
Beberapa hari kemudian, guru Matematika saya membagikan lembar jawaban yang sudah diberi nilai olehnya.
Saya dapat 5.
Itu juga karena tertolong contekan dari pilihan ganda, sementara gambar saya mendapatkan tanda tanya besar bertinta merah, menandakan bahwa Ibu Guru tidak mengerti apa yang saya lakukan. Jangankan Ibu, saya aja nggak ngerti sama diri saya sendiri, Bu.
*ikut sesi ESQ seumur hidup*
Saya masih bisa menghadapi hidup saya dengan cengar-cengir pada saat itu. Namun kalau dipikir-pikir lagi, tindakan yang saya lakukan pada lembar jawaban Matematika itu adalah tindakan yang bodoh dan salah, di mana tindakan itu adalah tindakan disrespectful terhadap guru Matematika saya. Saya waktu itu tidak menyadari karena seorang Anita yang pada waktu itu masih berusia 15 tahun otaknya dipenuhi kebodohan dan kekonyolan. Ingin rasanya saya mendatangi guru Matematika saya pada waktu itu dan meminta maaf, namun mungkin dia sudah paham dengan murid-murid bodoh yang hopeless akan Matematika seperti saya. Ibu Desi, nama guru Matematika saya pada saat itu. Kalau beliau baca tulisan ini, mungkin dia ingat siapa saya dan seperti apa bodohnya saya dalam Matematika. Dan semoga beliau paham kalau saya tidak bermaksud meledek ataupun merendahkan dengan gambar tolol saya di lembar jawaban itu. Dan jika saya bisa memutar balik waktu ke masa itu, mungkin saya tidak akan menggambar, saya akan membiarkan lembar jawabannya kosong, ataupun berusaha semampu saya.
2. 3 Oktober 2007.
Bagi kalian yang pernah membaca tulisan-tulisan saya pada tag ini, pasti kalian tahu kalau I lost someone I love dearly pada tahun 2007. Dia berpulang setelah 10 bulan berperang dengan sakit gagal ginjal yang membuatnya 'menggantungkan' hidupnya pada mesin Haemodialysis. Saya masih berusia 16-17 tahun pada saat itu. Emosi yang masih meledak-ledak dan sifat tidak sabar yang mengalir dalam darah saya membuat saya tidak cukup baik untuknya pada saat itu. It's our 3rd year of relationship dan saya merasa mulai lelah, instead kept holding his hand to support him. Tidak mudah bagi saya saat itu menerima kenyataan bahwa orang yang sangat saya sayangi sepenuh hati harus berbaring 5 sampai 6 jam tiap Senin dan Kamis dengan selang yang menjuntai dari pembuluh darahnya ke sebuah mesin jelek yang suaranya sangat mengganggu. Hal itu berlangsung dari akhir 2006 hingga awal Oktober 2007. Selama 8 bulan di rumah sakit, dia menjadi jauh lebih rapuh dan menyebalkan. Sosoknya yang tegap dan gagah lebih meredup digerogoti fungsi ginjalnya yang persentasenya merosot jauh. Kurang dari 10% saya dengar pada saat itu. Dia tidak bisa lagi minum air putih lebih dari 3 gelas kecil dalam 24 jam. Saya yakin tidak banyak orang yang bisa menerima kenyataan pada saat itu. Dan saya tau, saya harusnya lebih bersabar menemani dan mengerti apa yang dia rasakan pada saat itu. 2 bulan terakhir keluarganya memutuskan untuk membawanya pulang dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan yang mana hanya tinggal cuci darah rutinlah yang dia jalani. Mental saya yang sudah jauh terkikis melihat keadaannya, keadaan kami, membuat saya pelan-pelan mulai mundur dan tidak lebih sering menemuinya. Bukan karena saya menemui orang lain, tapi karena saya tidak tahu apa saya masih kuat menghadapi kenyataan di depan mata saya untuk melihat orang yang selama 3,5 tahun menjaga dan melindungi saya harus terbaring dan tersambung ke mesin menyebalkan itu. Sorot matanya yang tajam mulai meredup, dia mulai sulit berucap karena napasnya makin sesak akibat cairan yang mulai memasuki sepasang paru-parunya sehingga tiap saya menelepon dia, yang mengangkat telepon adalah ibunya dengan bilang,"Dia lagi sesak, Nita. Lagi nggak bisa ngomong". Saya biasanya hanya bisa menangis marah setelah menutup telepon.
Percayalah, saya mencoba sekuat tenaga untuk menjadi orang yang
Sampai pada akhirnya, 3 Oktober 2007 kami ribut besar.
Kami ribut via SMS. Emosi saya sangat memuncak pada waktu itu. Yang pada akhirnya, saya memutuskan untuk meninggalkan dia dan semua keadaannya.
3 hari kemudian, 6 Oktober 2007, saya mendapat SMS yang mengabarkan bahwa dia telah berpulang ke pelukan Yang Maha Kuasa, di tengah-tengah proses cuci darah yang rutin dia jalani.
"Lagi cuci darah, tiba-tiba kejang, lalu udah 'nggak ada' " begitu kata mamanya ketika saya bertanya apa yang terjadi.
Jangan tanya rasanya seperti apa. Kuku dari sepuluh jari tangan saya saya habis saya gerogoti. Oh ya, let me tell you bahwa saya punya kebiasaan buruk untuk menggigiti kuku tangan saya ketika emosi negatif mulai merasuki kepala saya. Sedih, marah, grogi, ataupun bentuknya, pasti saya mulai mengigiti kuku-kuku saya hingga bentuknya nggak karu-karuan. Hal itu saya lakukan to make me feel better, actually.
Dan jika saya diberi kesempatan sekali saja untuk memperbaiki kesalahan saya, saya tidak akan meluapkan emosi saya kepadanya. Instead of kirim SMS marah-marah, saya akan menanyakan kapan jadwal cuci darah selanjutnya, agar saya bisa ada menemani dia, untuk ada di sampingnya. Saya akan mengabaikan bunyi mesin yang naudzubillah bising itu dan menemani dia, memastikan bahwa saya ada untuk dia, dengan porsi kasih sayang yang tidak berubah sejak genggaman tangan pertama.
Sudah, itu saja.
Kesalahan-kesalahan yang saya tuliskan di atas adalah dua dari sekian banyak kesalahan yang saya lakukan selama 25 tahun saya hidup di dunia ini. Namun dua kesalahan tadi adalah kesalahan yang paling saya sesali dan saya harapkan bisa saya perbaiki. Rasa sesal pasti ada, tapi saya tau kalau saya membiarkan diri saya tenggelam dalam rasa sesal saya tau pasti tidak akan ada habisnya malah akan menghambat saya menjalani keseharian saya pada saat ini. Saya tahu saya tidak sempurna, tapi saya menjadikan kesalahan-kesalahan yang saya lakukan sebagai pembelajaran untuk menjadi individu yang lebih baik lagi. Dengan bersikap lebih hati-hati dan tidak menyerahkan hidup saya pada emosi, saya rasa saya akan bisa menjalani kehidupan dengan lebih bijak lagi.
:)
And yes, tilcikers dan tilcikerswati. Tulisan ini adalah tulisan kedua yang saya buat dari alasan yang sama saya ketika membuat tulisan yang ini. Dengan deadline yang sama yaitu jam 9 malam, so I'm gonna start tagging tulisan 'ber-deadline' ini dengan tag '9 PM'. It seems nice, doesn't it? Dan tulisan ini saya dedikasikan bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri saya sendiri. Sebagai reminder bahwa penyesalan kalau dituruti tidak akan ada habisnya. So please keep being nice, Anita. Tidak hanya kepada orang lain, tapi pada dirimu sendiri tentunya.
Thank you for coming up with this topic, you. Itu juga karena saya udah ngantuk ketika otak cetek ini harus mikir topik tulisan berikutnya ya :)))
Looking forward to your email tonight! Ingat, deadline 20 Maret jam 9 malam, kalau melebihi batas waktu akan didiskualifikasi oleh panitia. Haha!
Looking forward to your email tonight! Ingat, deadline 20 Maret jam 9 malam, kalau melebihi batas waktu akan didiskualifikasi oleh panitia. Haha!