09 March 2016

Most Precious Thing(s) In Life

Ehai, para tilcikers dan tilcikerswati dari berbagai macam sudut dunia jagad raya ini. Pada bingung ya kenapa saya mendadak nulis lagi? Jawabannya mudah, karena saya pintar dan produktif dalam menulis.
*diselengkat blog statistic*
Maka apa yang membuat saya posting dua blog posts dalam dua hari berturut-turut? Memang inisiatifnya bukan dari jiwa dan skill menulis saya yang amatir, namun berawal dari percakapan via WhatsApp ini:


Maka kami pun sepakat untuk menulis tentang topik yang sudah disepakati sebelumnya: 
The most precious thing(s) in life. 

Saya sempat bingung (dan bahkan bengong) ketika topik itu muncul ke permukaan untuk sesuatu yang saya tuliskan. Spontan saya berbicara pada diri sendiri: “Apa ya?” pertanyaan itu pun terus berputar di otak saya yang kosong ini.
Bagi beberapa orang yang mengenal saya dengan baik, kehidupan saya akhir-akhir ini sungguhlah selow kalo kata anak jaman sekarang. Bangun tidur, siap-siap, pesan ojek online, pergi ngantor naik ojek, sampai di kantor ceritanya kerja, lalu pulang. Udah, gitu-gitu aja. Palingan kalo ada janji ngopi sama temen-temen saya aja saya baru keluar rumah. Sudahkah hidup saya terlihat cukup membosankan bagi kalian semua? Kalau sudah, sekarang saya akan menceritakan tentang betapa lebih membosankannya lagi hidup saya, and now let me tell you about the most precious thing(s) in my life, as mentioned above. 
1. Work 
Sedari kecil, saya tidak pernah dimanja oleh orang tua saya. Apapun yang saya inginkan, they make me earn it. Seperti misalnya, dulu sewaktu saya masih TK, orang tua saya membuat ‘tabel prestasi’ yang terdapat dari lima kolom dan beberapa baris. Lima kolom tersebut bertuliskan nama-nama hari: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Di tiap barisnya terdapat kolom-kolom kosong yang kemudian akan ditempeli gambar bintang oleh Papa. Nah, bintang-bintang tersebut akan tertempel di setiap kolom hari jika saya bisa tidur malam tanpa rewel dan tepat waktu. Jadi ketika kolom Senin hingga Jumat tertempel bintang di dalam satu baris, maka tiap Sabtu atau Minggu Papa akan mengajak saya ke toko buku dan saya bebas memilih buku cerita apapun yang saya inginkan. Namun karena Papa saya bukan orang kaya yang bisa menghadiahi saya semua buku yang ada di toko buku, Papa hanya membatasi saya untuk memilih satu buku untuk dibeli di tiap akhir pekan. Jadilah saya anak yang disiplin dalam hal tidur, malah sekarang kelewat disiplin karena saya jadi ngantukan dan sering ketiduran kalo nggak ngapa-ngapain (baca: pelor; nemPEL dikit langsung molOR)
*disiram kopi* 
Kedisiplinan dan prinsip “You earn what you want” yang Papa terapkan pada kehidupan kami berdua (saya dan adik saya) sedari kecil kurang lebih mempengaruhi kehidupan kami selanjutnya. Pada usia sekolah SD hingga SMA, orang tua tidak memberikan uang jajan yang berlebih (saya bahkan pernah ketika SD seharian tidak jajan di sekolah karena uang jajan saya habis untuk membeli poster Westlife). Kalau mau jalan-jalan di akhir pekan, mereka juga tidak memberikan uang yang banyak untuk standard anak sekolah saat itu. So yeah, saya harus menabung. Namun apakah saya kemudian menjadi anak yang pintar menabung? OH TENTU SAJA TIDAAAAAK~
*dipelototin mutasi rekening* 
Adik saya tipikal yang sangat pintar menabung, seperti Papa .Sedangkan saya? Nggak usah ditanya. Pokoknya dulu kalo saya mau jajan, saya dekati almarhum eyang kakung saya untuk sekedar memijit–mijit beliau atau mencabuti ubannya, pokoknya at the end of the day saya akan dikasih uang jajan sama beliau. At least I earned it, no? 
*kesamber geledek* 
Kemudian beranjak ke kehidupan perkuliahan. Masih dengan standard uang jajan yang pas-pasan, saya mulai mendapatkan jalan untuk earning money. Circa 2009-2010, Twitter lagi booming-boomingnya, dan dari situlah saya mendapatkan beberapa project yang melibatkan otak saya untuk berpikir kreatif, walaupun seperti yang kalian semua tau kapasitas otak saya nggak seberapa. Tapi lumayan lah buat nambah-nambahin beli high heels yang memang menjadi mandatory accessory di dunia perkuliahan saya. Circa 2010, saya mendapatkan pekerjaan pertama saya dari teman baik saya. Walaupun part time (saya ke kantor setelah pulang kuliah) dan membuat saya kehilangan waktu tidur ideal selama 8 jam, tapi hasilnya membuat saya puas. Sejak saat itu saya menolak untuk mendapatkan uang jajan dari orang tua saya, namun mereka merasa kalau saya masih kuliah jadi saya masih pantas mendapatkan uang jajan. Apakah kemudian uang jajan dan hasil kerja part time saya ada bagian yang saya simpan menjadi tabungan? OH TENTU SAJA TIDAK. KALIAN SALAH. TERUSLAH BERDOA HUAHAHAHAHAHAHA. 
*digampar jam weker karena sering kesiangan kalo kuliah* 
Mulai tahun 2011, saya lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan full time pertama saya. Maka sejak saat itupun saya sudah resmi lepas dari ‘kewajiban uang jajan’ dari orang tua saya. I started to stand on my own feet. Nominal gaji yang saya dapatkan waktu itu juga sangat cukup untuk menghidupi kehidupan saya sehari-hari bahkan kebutuhan tersier saya dan saya memiliki kewajiban pertama yang harus saya penuhi tiap bulan: Bayar internet rumah. 
*elus-elus modem penuh kasih sayang*
*kesetrum* 
Sejak 2011 dari sekarang, walaupun saya mengalami beberapa up and down di dalam pekerjaan dan sering ngos-ngosan menghemat pengeluaran pada tanggal tua dan berjibaku dengan nominal di rekening sendiri, tapi alhamdulillah saya masih bisa berdiri pada kedua kaki saya sendiri, dan menjalani kewajiban kepada keluarga saya dengan baik. Well at least that’s what my parents told me. Saya tidak peduli jika ada nyinyiran berbentuk “Halah kerjaan cuman sekretaris doang ngapain pake sekolah, mahal pula”, saya tidak sedikitpun menaruh peduli. Those people don’t pay my bills, so I’d be wasting my energy if I overthink about their trash. 

2. Parents’ happiness. 
You may question me,”Loh kenapa pekerjaan lebih utama daripada kebahagiaan orang tua?” well you might think it’s a cliché, but my parents worked their asses off to make me happy by providing me a worthy life. Sekarang waktunya saya (mencoba) membuat mereka bahagia dengan hasil kerja keras saya. Saya beruntung memiliki sepasang orang tua yang tidak banyak menuntut dan memberikan saya kebebasan bekerja dan berkarya. Dan sayapun menunjukkan bahwa saya masih di dalam kontrol mereka. Mereka tidak pernah protes akan jam kerja saya yang lumayan menyita waktu ataupun ketika saya keluar rumah untuk menikmati ‘me time’ berupa menulis. Well they indeed worry kalau saya masih di luar rumah lewat tengah malam untuk bekerja, but they completely understand that a job is a job. Dengan jenis pekerjaan yang lumayan menyita perhatian saya, kedua orang tua saya tetap mengerti bahwa saya yang memilih pekerjaan ini and I’m happy to do it with all of my heart. Mereka sepenuhnya tahu kalau saya adalah anak yang keras kepala dan sungguh-sungguh dalam pekerjaan saya. Eventhough I don’t know whether the way I work makes them proud of me or not, but I try myself so hard to make them happy, and I prove it. 
Bahwa ketika beberapa waktu lalu saya mengambil langkah baru yang cukup besar di dalam kehidupan saya dari hasil kerja keras saya untuk mereka, I saw the light on my mother’s eyes. And eventhough my father didn’t show it much, I know he feels the same way as hers. Namun apakah itu sudah cukup? Tidak. I will never stop trying to make my parents happy. Karena ada satu kalimat Mama yang masih menggantung di keseharian saya,”Terus, nikahnya kapan?” WOELAH MAAAAAAAAAAAAAAAA DOANYA AJA DULUUUUUUU~ 
I repeat. I will never stop trying to make my parents happy. Period. 

3. Gratitude. 
Kehidupan saya sama seperti kehidupan milyaran manusia di dunia ini pada umumnya. Dipenuhi up and down, lompatan kegirangan ataupun air mata kesedihan, keberhasilan ataupun kegagalan, well at least I try to live my life as enjoyable as I can. Exhaustions, indeed, are unignorable. But it doesn’t stop me to try to be happy. I admit, saya merupakan sosok keras kepala dengan tingkat ignorance yang cukup tinggi. Namun ketika akhir tahun kemarin saya mengalami kejadian yang membuat saya terjatuh terjatuh dan kesakitan. It haunted me, kejadian yang menghantam saya dengan keras dan membuat kepala saya sakit lebih sering dan intens dari sebelumnya. And however hard I tried to, I couldn’t ignore it. Saya menangis, menatap dan berteriak marah pada hidup saya. Kehidupan saya pada saat itu seperti judul film Warkop DKI: Maju kena mundur kena. 
*digebuk pembaca yang lagi sok serius membaca postingan ini* 
Saya hanya bisa diam pada saat itu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan kecuali menangis tiap malam dan berdoa agar semua dihentikan. Namun apakah Tuhan serta merta berbaik hati kepada saya dan membuat semua serangan berhenti begitu saja? Tidak. Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain kepada saya untuk menghadapi ketidaksukaan saya terhadap apa yang terjadi: 
Bersyukur
Saya tentu mencoba sekuat saya untuk bersyukur. Namun itu tidak semudah yang saya bayangkan. Saya selama ini menganggap kalau sebagai orang yang keras kepala, saya pasti kuat. Dan apakah saya cukup kuat untuk bersyukur dengan segala kesulitan saat itu juga? Tidak. Tuhan tidak main-main untuk merengkuh saya saat itu. Ternyata saya tidak bisa langsung bersyukur untuk menghadapi situasi itu, karena ada satu hal yang tidak saya sadari saya lewatkan. Hal sederhana yang berdampak besar: 
Acceptance
Ternyata sebelum bersyukur, saya harus bisa menerima terlebih dulu. Menerima apa yang sedang terjadi, menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan besar, dan yang paling utama, menerima diri saya sendiri, in every risk, every condition. Dari situ saya baru bisa mempelajari kesalahan dari langkah yang saya ambil, dan pada akhirnya berdamai dengan diri saya sendiri. Kemudian lambat laun saya bisa melepaskan ego dan amarah yang selama ini menari-nari riang di dalam kepala saya. Dan tentu saja saya belajar untuk menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur, seperti apapun keadaannya. 
And indeed, the phrase ‘Expectation kills’, proved me, a lot. For those who don’t realise, there’s a thin line between expectation and hope. Ternyata selama ini apa yang saya anggap harapan, adalah ekspektasi. Saya telah memaafkan diri saya sendiri untuk kesalahpahaman itu. Dan saya ‘merayakan’ perdamaian dengan diri saya sendiri dengan menjalani hidup lebih ringan. Tidak ada ekspektasi yang memberatkan, diiringi dengan rasa syukur yang tak berkesudahan. Maka beberapa waktu yang lalu pun saya tuliskan ini di dalam akun Twitter saya


Dan seperti yang telah saya sebutkan di twit saya di atas, berkah Tuhan selalu mengikuti hidup saya, bahkan lebih terasa. Selamat malam, para tilcikers yang budiman dan budiwati sekalian. Semoga kita semua bisa menjalani kehidupan dengan lebih menyenangkan. Have a pleasant day, indeed :) 

P.S: Thank you for making me write, you. Setidaknya otak dangkal ini bekerja karena ia terpaksa menjalankan fungsinya :)) Looking forward to your email, real soon!