13 September 2010

Sheila

pic was taken from here

Ya, saya baru selesai baca buku itu. Buku yang merupakan sekuel dari "Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil". Pengarangnya masih Torey Hayden. *penonton bersorak: YAIYALAAAAH!!* dan masih menceritakan tentang Sheila. Ah, oke. Kalau menceritakan tentang Junaedi pasti judulnya bukan Sheila. Baiklah, baiklah....
Kalau kalian sudah pernah membaca buku pertamanya, kalian merasakan perubahan yang signifikan pada diri Sheila, terutama dari penampilannya. Dari sisi emosional dan psikologis, kalian juga akan sedikit terkaget karena kenyataan yang tersedia jauh dari ekspektasi sewajarnya. Sayapun merasa sedikit 'tertipu', namun anehnya, masih sangat menikmati buku ini karena si Hayden ini bercerita step by step. Entahlah, mungkin karena dia ini penulis perempuan dan seorang psikolog, dia menumpahkan emosi yang sangat terasa pada tulisannya. Saya bisa merasakan ketika dia marah, kalau Sheila lagi jadi remaja labil, saya bisa lebih kesal sama dia daripada tante Torey(pueh, sok kenal) itu sendiri. Sekedar mengingatkan, jika ada yang beli buku ini hanya untuk melihat Sheila yang manis dan cerdas karena Torey Hayden sudah 'mengemas'nya dalam paketan happy ending di buku pertama, mending gak usah beli bukunya. Muahahahahahaha.
*digantung di ujung monas sama Torey Hayden*

Cukup reviewnya.
*Hah? barusan review?*
Iya, gimana review saya? Oke, ya?
*....*

Baiklah, saya tambahkan sedikit lagi ya. Kali ini tentang penilaian saya terhadap Sheila.
Kenapa saya suka dan betah mojok sendirian baca buku tentang remaja urakan yang labil ini adalah, saya suka sama Sheila dan tanpa saya sadari, saya 'terikat' sama dia.
Ada beberapa hal di Sheila yang saya rasa memiliki kemiripan dengan saya, atau saya tahu rasanya.
Sheila memiliki sifat oportunis.
Dan saya, memiliki julukan "The What If Girl" dari kedua kakak saya yang monokrom dan warna-warni itu.
Itu hal yang paling 'ngena' buat saya. Sheila, dengan segala kekurangan materi maupun kasih sayang, trauma masa lalu, membuat dia memiliki pandangan yang berbeda dari anak seusianya. Dia bisa melihat segala kemungkinan yang terjadi dari setiap tindakan. Walaupun kadang perkiraannya salah karena dia masih remaja(14 sampai 16 tahun yang diceritakan di buku itu), tapi dia bisa melihat kemungkinan dan tidak hanya terpaku pada satu cara untuk berjuang, mendapatkan kebahagiaannya.
Bedanya, sifat oportunis Sheila ini lebih 'gelap'. Ya itu juga karena pengalaman-pengalaman masa lalunya yang masyaoloh pahitnya, kan..
Sementara saya, dipelihara dengan baik dan benar oleh orang tua dan keluarga yang utuh, masa kecil yang akan sangat durhaka saya jika saya bilang kurang kasih sayang. Tapi di dalam semua keindahan itu membuat saya berpikir tentang segala kemungkinan bagaimana kalau saya bertindak seperti ini atau seperti itu. Bagaimana jika saya tidak memiliki limpahan kasih sayang sebanyak ini, bagaimana jika saya tiba-tiba muak dengan semua kemilau rasa bahagia ini dan tentang apa saja yang saya sebaiknya lakukan beserta kebaikan-keburukan yang akan saya terima sebagai konsekuensi. Satu hal saja yang membedakan saya dengan Sheila dalam keoportunisan ini, saya sempat menjadi naif karena dilimpahi kesenangan dan kasih sayang, sedangkan Sheila tidak. Dia pesimis dan defensif.

Dan satu hal yang membedakan saya dan Sheila, tapi saya paham betul rasanya adalah,
Sheila sangat menghindari mengingat-ingat momen bahagia dalam hidupnya, karena dia tidak ingin menangis dan lalu lebih memilih hal-hal yang pahit dalam hidupnya dan berpikir bahwa hal buruk yang dia alami tidak lebih buruk dari masa lalunya dan dia bisa menghantam kenyataan itu dengan kemampuannya untuk bertahan.
Itu Sheila.
Saya sangat menghindari mengingat-ingat hal-hal yang menyakitkan untuk saya, karena saya tidak ingin menangis dan lalu lebih memilih memikirkan hal-hal manis dalam hidup saya dan berpikir bahwa saya memiliki banyak kenangan menyenangkan untuk memotivasi saya sehingga saya bisa bertahan.
Hanya di situ bedanya. Tapi tidak ada yang bisa mengerti rasa seperti itu kecuali saya.
*TSAAAAAAAAAAAAAH!!*

Dan dengan postingan ini, saya memutuskan untuk tidak terlalu menaruh hati pada penulis perempuan selain Torey Hayden dan J.K Rowling. Karena seperti perempuan pada umumnya, mereka menulis memakai perasaan dan cenderung menguras emosi pembacanya. But you still did a great great job, Ms. Torey Hayden :)

Oh, Mitch Albom, how i need you and your other books right now to fill up my mind with logic.