28 October 2010

Maafin gue, Mik..

Sekali lagi, saya harus kehilangan.
Salah satu sahabat terbaik saya, yang tawanya selebar pipinya.
Yang badannya sebesar kebaikannya.
Yang sinar matanya seterang ketulusannya..
Jatmiko Arief.

Sulit bagi saya untuk menerima hal ini. Sungguh.
Saya dan dia, dan satu lagi sahabat kami, Arthur namanya.
Kami bertiga, tidak mengharapkan apa-apa dari hubungan seerat persaudaraan ini.
Kami hanya mengandalkan ketulusan sebagai landasannya. Itu saja.
Bahwa ketika ngobrol bertiga di ruang tamu membawa tawa yang membahana.
Bahwa ketika makan di restoran pizza dengan voucher gratisan merupakan hal yang langka bagi kami.
Bahwa ketika Miko, begitu panggilannya, selalu membawa selembar handuk kecil kemana-mana, untuk menyeka keringatnya adalah satu hal yang selalu saya ingat dari dia..
Bahwa ketika suaranya yang berat serta serak menyeruak di gendang telinga menjadi faktor utama kami merindukannya..
Bahwa ketika tiga tahun lalu mamanya datang menemui kami berdua memberitahu bahwa Miko sering bolos sekolah menjadi momen paling emosional untuk saya dan Arthur. Habis-habisan kami omeli dia, tapi dia hanya membalas dengan cengiran ngehek andalannya..
Bahwa ketika belum tepat seminggu yang lalu saya menerima pesan singkat dari mamanya, memberitahu bahwa Miko terbaring koma di ruang ICU membuat tangan saya bergetar. Kaget luar biasa.
Bahwa ketika saya memeluk mamanya di ruang tunggu rumah sakit lebih membuat saya terluka, terluka akan kebodohan saya yang tenggelam dalam kesibukan saya sendiri, tidak menyempatkan waktu sedikitpun untuk menjaga komunikasi dengannya.

Saya menyesal. Sungguh.
Hal yang terakhir saya lakukan dengan Miko, hanya sekedar chat di facebook, saling menanyakan sedikit hal dengan kejaran waktu yang mencekik saya.
Bahwa terakhir kalinya saya datang mengunjunginya pun, saya tidak melihat tubuhnya sedikitpun. Saya hanya merasakan, Miko yang sedang terbaring di ICU, sedang berjuang di antara kehidupan dan kepergian.
Saya berharap, sangat berharap. Bahwa pada waktu itu Miko akan pulih dan kembali tertawa bersama kami.
Bahu mamanya yang bergetar ketika saya peluk, isakan yang terdengar pilu ketika beliau menceritakan keadaan Miko akhir-akhir ini..
Ternyata Miko memilih untuk pergi.
Pembuluh darah yang pecah di kepalanya, menjadi faktor utama kepergiannya.

Sekarang hanya tinggal saya, Arthur, dan Tante Dea, mamanya..
Entah apa yang akan kami lakukan, tapi yang pasti, kami akan berjuang..
Dengan semangat hidup Miko, dengan ketulusan hatinya, tawa renyahnya, sifat jenakanya..

Dan sekarang, untuklo ini, Mik.
Gue sama Arthur bangga punya sahabat terbaik kayak lo.
Dan kayak janji kita bertiga, lo akan liat si monyet yang satu itu jadi eksmud kayak yang selalu dia sebut dari SMP, dan gue? Gue belom tau, tapi yang pasti, kita bertiga, walaupun di tempat yang berbeda, akan bahagia.
Gue janji.


This is us: Arthur, Miko, saya.
This is the most precious friendship at the precious time.
So long, Miko. We'll always love you, and pray for you.

Maafin gue karena gak selalu ada buatlo, Miko.. Maafin gue..